Halaman

Selasa, 16 Mei 2017

Inflasi jelang Ramadan



Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama islam, bulan suci Ramadhan tentu menjadi momen yang ditunggu oleh sebagian besar masyarakat. Bulan suci nan mulia dimana seluruh umat muslim berpuasa dan banyak beramal ibadah karena dilipatgandakan pahalanya.
            Ketika bulan Ramadhan, meski umat Islam berpuasa disiang hari namun konsumsi masyarakat akan meningkat terutama untuk bahan makanan. Apabila Ramadhan menjelang, akan kita jumpai aneka jenis makanan pada setiap harinya menjelang buka puasa. Bahkan untuk berbagai jenis makanan yang tidak akan kita temui pada hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Karena setelah berpuasa sepanjang hari, setiap keluarga tentu ingin menghidangkan makanan yang lebih enak dan lebih banyak dibanding hari-hari biasa. Pola konsumsi yang sifatnya musimam ini mengakibatkan permintaan terhadap hampir semua bahan makanan akan meningkat selama bulan Ramadhan.
            Meningkatnya permintaan bahan makanan ini apabila tidak dibarengi dengan ketersediaan barang maka akan menyebabkan peningkatan harga jual barang di pasar. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana terjadinya lonjakan harga cabai merah dan cabai rawit pada akhir tahun 2016 yang nilainya melebihi harga 1 kilogram daging sapi segar. Peningkatan harga cabai ini mendorong terjadinya inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara umum. Hal itu baru terjadi pada satu komoditas cabai merah saja. Bisa dibayangkan apabila permintaan semua barang kebutuhan konsumsi meningkat secara bersama-sama di bulan Ramadhan, maka perlu antisipasi terhadap ketersediaan pangan menjelang bulan suci Ramadhan.
            Selain itu pada tanggal 1 Mei 2017 pemerintah telah menaikkan tarif dasar listrik untuk pelanggan 900VA dan nanti pada tanggal 1 Juni 2017 pemerintah akan kembali menaikkan tarif tersebut menjadi Rp.1.352,-. Kenaikan tarif dasar listrik yang bersamaan dengan bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini akan mendorong terjadinya inflasi di bulan Mei dan Juni. Pada saat harga kebutuhan barang konsumsi naik ditambah dengan kenaikan tarif dasar listrik maka hal ini semakin menurunkan daya beli terutama pada masyarakat dengan penghasilan tetap dan masyarakat kelas bawah.
            Inflasi yang terjadi pada bulan April nilainya sebesar 0,09 persen terjadi karena adanya kenaikan harga barang-barang pada kelompok makanan jadi, rokok, dan tembakau (0,12 persen), semua kelompok sandang/pakaian dan alas kaki (0,49 persen), perhiasan emas, hingga kenaikan harga pada bahan bakar, listrik, dan air (3,3 persen). Apalagi saat ini bulan Ramadhan sudah semakin dekat, maka kenaikan harga kebutuhan makanan, sandang, perhiasan akan semakin naik seiring dengan meningkatnya permintaan dari masyarakat. Ditambah dengan kenaikan TDL, maka diperkirakan inflasi bulan Mei dan Juni akan lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi yang terjadi pada bulan April 2017.
            Meningkatnya permintaan masyarakat pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada triwulan dua 2017. Meningkatnya permintaan akan mendorong pada peningkatan jumlah produksi barang dan jasa sehingga akan meningkatkan perekonomian. Demikian juga dari sisi pengeluaran masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Namun bagi masyarakat berpenghasilan tetap hal ini jelas akan mengurangi tabungan/simpanan uang rumah tangga.
            Apakah inflasi ini selalu merugikan? Bagi konsumen tentu hal ini sangat merugikan, karena menurunkan daya beli. Namun inflasi ideal yang nilainya sebesar 2 hingga 4 persen pertahun akan menggerakkan perekonomian. Hal ini akan menguntungkan bagi produsen dan penyedia bahan baku produksi. Kenaikan permintaan dan harga komoditas akan meningkatkan keuntungan bagi produsen. Demikian juga bagi penyedia bahan baku produksi seperti petani. Kenaikan harga kebutuhan konsumsi yang berasal dari produk pertanian akan meningkatkan kesejahteraan petani. Harapannya nilai tukar petani akan meningkat diatas angka 100, yang berarti kenaikan harga harga produk pertanian lebih tinggi dari kenaikan biaya produksi dan harga barang konsumsi. Dengan nilai tukar petani diatas 100 artinya petani mengalami surplus/untung sehingga kesejahteraannya meningkat. Namun apabila kenaikan harga produk pertanian ini lebih banyak dinikmati oleh pedagang/tengkulak karena panjangnya rantai distribusi barang, maka petani akan semakin menderita. Hal tersebut dikarenakan kenaikan harga kebutuhan barang konsumsi tidak sebanding dengan kenaikan harga komoditas pertanian yang dihasilkan.
            Persoalan yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengantisipasi inflasi adalah menjamin ketersediaan bahan pangan terutama menjelang bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri, sehingga kenaikan harga barang akan terkendali. Ketika kenaikan harga barang tidak dapat dicegah, maka memperpendek rantai distribusi barang akan mengurangi ongkos transportasi sehingga mampu menekan harga jual. Selain itu memperbanyak melakukan operasi pasar dengan harga murah bisa menjadi salah satu solusi bagi masyarakat terutama untuk barang-barang yang harganya mudah bergejolak dan dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti beras, gula pasir, minyak goreng, cabai, bawang merah, bawang putih, daging sapi, dan lain sebagainya.

Dimuat di harian Satelit News, 15 Mei 2017
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...