Keberhasilan
Provinsi Banten dalam memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,26 persen pada tahun 2016 dan berada diatas pertumbuhan ekonomi
nasional patut diapresiasi. Jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang tumbuh
sebesar 5,40 persen maka pertumbuhan ekonomi ini mengalami sedikit perlambatan
yang disebabkan oleh pertumbuhan negatif pada lapangan usaha pertanian,
kehutanan, dan perikanan. Meski demikian harus diakui bahwa pertumbuhan ini mampu
mengurangi tingkat pengangguran, kemiskinan,
dan
tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten
dalam setahun terakhir. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan apakah keberhasilan
pembangunan ekonomi tersebut dapat dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan
masyarakat Banten?
Pertumbuhan
yang terjadi di hampir semua sektor perekonomian pada tahun 2016 mampu
menurunkan tingkat pengangguran hingga
11 ribu orang,
namun hal ini masih menyisakan
sejumlah pengangguran hingga 498 ribu orang pada kondisi Agustus 2016. Demikian
juga untuk kemiskinan, meski tingkat kemiskinan mengalami penurunan namun masih
menyisakan penduduk miskin yang mencapai 657,74 ribu orang atau sekitar 5,36
persen dari seluruh penduduk Banten. Artinya dari 100 orang penduduk di Banten, terdapat 6 orang penduduk dalam
kondisi miskin. Penduduk miskin di Banten masih terkonsentrasi di wilayah
perdesaan dengan tingkat kemiskinan sebesar 7,32 persen. sedangkan untuk
wilayah perkotaan tingkat kemiskinannya lebih rendah yaitu sebesar 4,49 persen.
Demikian juga untuk
ketimpangan pengeluaran yang
diukur dengan menggunakan gini rasio. Gini rasio sekaligus dapat digunakan sebagai
proksi/pendekatan untuk menghitung ketimpangan pendapatan karena menggambarkan
besaran pendapatan yang mampu dibelanjakan oleh penduduk. Pada
kondisi September 2016 angka gini
rasio Banten sebesar 0,394 atau
mengalami penurunan tipis jika dibandingkan
dengan kondisi Maret 2016 yang nilainya sebesar 0,392. Meski mengalami
penurunan dan ketimpangan pengeluaran
Banten masih dibawah ketimpangan pengeluaran nasional,
namun ketimpangan ini masih jauh dari yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo dalam RPJMN dimana pada tahun 2019 nilai gini rasio Indonesia sebesar
0,37. Adapun menurut ukuran
ketimpangan Bank
Dunia, Banten masuk ke dalam
ketimpangan rendah karena persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen
terbawah sebesar 17,41 persen atau sedikit diatas batas minimal persentase pengeluaran 17
persen.
Meski
ketimpangan pengeluaran mengalami penurunan, namun untuk kelompok pengeluaran
40 persen terbawah di perkotaan masih
tergolong
sedang, sedangkan di wilayah perdesaan tergolong ketimpangan rendah. Apabila dilihat dari
distribusinya, kelompok 20 persen kelas
atas di Banten
menguasai 46,51
persen pengeluaran, sedangkan kelas pengeluaran
menengah
sebanyak 40 persen menguasai 36,08
persen pengeluaran dan 40 persen kelas bawah di Banten hanya menyumbang 17,41 persen dari seluruh
konsumsi pengeluaran di seluruh Banten.
Dalam
jangka waktu tahun 2016, terjadi
peningkatan pengeluaran atau pendapatan pada
kelas menengah di Banten
sebesar 2,09 persen. Sedangkan untuk kelas bawah dan
kelas atas mengalami penurunan pengeluaran sebesar 0,79 persen dan 1,27 persen.
Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan yang dilakukan dalam
setahun terakhir lebih banyak dimanfaatkan
dan dinikmati oleh kelas
menengah dan kurang dirasakan oleh
kelompok masyarakat dengan pengeluaran 40 persen terbawah di Banten.
Pertumbuhan kelas menengah di Banten ini juga
dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang
membuka usaha baru. Hal ini dikarenakan semakin kondusifnya
pengembangan Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM) di hampir semua lapangan usaha di Banten.
Hal serupa juga sejalan dengan hasil Survei Angkatan Kerja
Nasional (Sakernas) pada bulan Agustus 2016 dimana terdapat peningkatan jumlah
wirausaha baru sebanyak 16 ribu orang atau meningkat sebesar 5,54 persen. Kelas
menengah yang berpendidikan baik dan
memiliki keterampilan serta melek teknologi
lebih bisa memanfaatkan peluang
ekonomi tersebut jika dibandingkan dengan kelas bawah di Banten. Terlebih di era digital seperti saat ini, dimana
kesempatan dan peluang usaha terbuka luas bagi kalangan yang melek teknologi,
tidak terkecuali bagi kelas menengah di Banten.
Berkaca
pada hal di atas, maka untuk mengatasi ketimpangan pengeluaran sekaligus
pendapatan diperlukan program yang mampu menggerakkan ekonomi terutama kelas bawah di Banten. Masyarakat kelas bawah ini harus menjadi perhatian utama
karena pemerataan pendapatan pada kelompok ini sekaligus dapat mengurangi
tingkat kemiskinan di Banten. Karena harus diakui bahwa kantong-kantong
kemiskinan berada pada 40 persen kelompok pengeluaran paling bawah ini.
Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah
untuk mengatasi ketimpangan pengeluaran ini terutama untuk masyarakat kelas
bawah ini adalah dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur padat karya dan
beragam skema perlindungan serta bantuan sosial di bidang pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan lainnya. Selain itu juga diperlukan program yang
tidak hanya memberikan umpan saja namun juga memberikan kailnya. Program
tersebut berupa peningkatan ketrampilan dan modal usaha, sehingga dalam jangka
panjang kelompok pengeluaran 40 persen kelas bawah ini
mampu menciptakan usaha sendiri yang dapat
meningkatkan pendapatan rumah tangga
sehingga lebih mandiri.
Satu hal yang tidak kalah penting juga adalah perlu adanya edukasi dan
perubahan pola pikir dalam memanfaatkan bantuan menjadi modal usaha, bukan
hanya sekedar menghabiskan bantuan untuk kebutuhan konsumtif. Sehingga harapan untuk mengatasi ketimpangan antar
kelompok pendapatan tinggi dan pendapatan rendah akan tercapai sekaligus angka
kemiskinan di Propinsi Banten dapat ditekan.
Dimuat di harian Kabar Banten, 16
Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar