Dalam beberapa bulan terakhir masyarakat Indonesia disuguhi oleh
lonjakan harga komoditas pangan terutama harga cabai rawit merah yang masih
berada diatas Rp.120.000,- per kilogram hingga akhir bulan Januari 2017 ini. Tingginya
harga cabai rawit ini ditengarai karena sedikitnya pasokan sebagai akibat dari
cuaca buruk yang berpengaruh terhadap produksi cabai di tingkat petani. Peningkatan
harga cabai ini
sangat memberatkan bagi konsumen, bahkan lonjakan harga cabai ini paling dominan dalam memberikan andil
terhadap inflasi Bulan Januari 2017 yaitu sebesar 0,10 persen.
Harus diakui bahwa kenaikan harga komoditas pertanian ini, lebih
banyak dinikmati oleh para pedagang dan tengkulak. Sebagai akibat dari rantai
distribusi produk dari produsen dalam hal ini petani kepada konsumen. Sedangkan
harga produk pertanian sendiri di tingkat petani mengalami kenaikan tidak
terlalu tinggi. Belum lagi harga kebutuhan barang konsumsi lainnya yang ikut
naik, sehingga kenaikan produk pertanian tersebut tidak
cukup untuk menutupi kenaikan harga barang konsumsi
lainnya.
Hal ini tercermin dari Nilai Tukar Petani
(NTP) pada bulan Januari 2017 yang mengalami penurunan sebesar 0,56 persen. Meski
NTP Januari bernilai 100,91 yang artinya petani mengalami surplus, namun
penurunan NTP tersebut memberikan arti bahwa tingkat kesejahteraan/daya beli petani
dalam sebulan terakhir mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan oleh
kenaikan indeks harga komoditas pertanian lebih rendah dibandingkan dengan
kenaikan indeks harga barang yang harus dibayar oleh petani. Hal ini terjadi
karena kenaikan harga barang-barang kebutuhan konsumsi dan keperluan produksi
pertanian kenaikannya lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga barang
produksi pertanian.
Ada 14,25 juta rumah tangga
tani di Indonesia yang merupakan petani gurem dengan lahan
yang diolah kurang dari setengah hektar. Skala usaha yang kecil ini memungkinkan petani tidak
mampu mencukupi kebutuhan hidupnya meski kegiatan usaha pertanian tersebut
menguntungkan. Terlebih lagi ketika petani harus berbagi hasil dengan pemilik lahan/modal. Dengan demikian kesejahteraan petani
semakin sulit untuk direngkuh.
Sektor pertanian yang berperan
14,42 persen terhadap perekonomian Indonesia, dan tumbuh sebesar 2,81
persen dalam setahun terakhir, ternyata belum sepenuhnya mampu mengangkat
kesejahteraan petani di Indonesia. Hal ini tercermin pada angka kemiskinan yang
tinggi di wilayah perdesaan di Indonesia yang mencapai 17,28 juta orang pada kondisi September 2016.
Belum lagi dengan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
perkotaan.
Selain itu sektor pertanian juga menjadi tumpuan hidup bagi 37,77
juta orang tenaga kerja di Indonesia. Hal ini
berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) pada Bulan Agustus 2016. Jadi segala yang terjadi pada sektor pertanian harus
menjadi perhatian utama pemerintah. Termasuk bagaimana mengurangi tingkat
kemiskinan di perdesaan, maka sektor pertanian harus menjadi prioritas.
Harus diakui keberhasilan pemerintah melalui berbagai program untuk
meningkatkan produktifitas pertanian patut kita apresiasi. Namun hal tersebut
belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia. Karena
kesejahteraan petani tidak hanya berdasarkan pada pendapatan petani saja, namun
juga bagaimana pengeluaran petani. Jika untuk biaya bercocok tanam pemerintah banyak memberikan subsidi, maka untuk pengeluaran
konsumsi rumah tangga seperti pangan,
sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan juga harus mendapat perhatian.
Karena kenaikan harga barang konsumsi rumah tangga ini berpengaruh besar
dalam menurunkan kesejahteraan petani.
Jadi ada dua cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani, yaitu
dengan melindungi harga jual produk pertanian di
tingkat petani dan bagaimana menekan kenaikan harga barang kebutuhan petani.
Perlindungan harga petani ini bisa dilakukan dengan harga pokok pembelian yang
menguntungkan petani atau memperpendek rantai distribusi produk pertanian
hingga ke konsumen. Pembentukan koperasi pemasaran yang langsung menghubungkan
petani dengan pedagang eceran di kota-kota besar mungkin
bisa menjadi solusi.
Selain itu perlindungan terhadap petani
dari gagal panen akibat perubahan iklim atau bencana alam perlu ditingkatkan
dalam bentuk asuransi pertanian. Sehingga hal tersebut akan meminimalisir
kerugian petani dan tidak semakin menambah tingkat kemiskinan di perdesaan. Demikian juga untuk barang kebutuhan konsumsi petani, rantai
pemasaran dari produsen hingga ke warung yang mendekatkan kepada konsumen perlu
dipangkas, sebagaimana warung Rumah Pangan
Kita
(RPK) yang digagas oleh Perum Bulog.
Uraian diatas harus menjadi perhatian bagi pemerintah supaya Indonesia
yang memiliki potensi lahan pertanian yang luas ini mampu mencapai swasembada
pangan sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan petani di perdesaaan.
Dimuat di harian Kabar Banten, 8
Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar