Bakteri Erwinia Chrysanthemi ditemukan pada tanaman
cabai ilegal di Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Sebagaimana
diberitakan harian umum Radar banten (9/12/2016), hal ini merupakan hasil
pengawasan dan penindakan Badan Karantina Pertanian, yang mengendus aktifitas
penanaman cabai pada lahan 4000 meter persegi di sebuah perbukitan tersembunyi
yang dilakukan oleh warga negara asing asal tiongkok pada 8 November lalu.
Menurut
Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, Antarjo Dikin bakteri
ini tidak berbahaya bagi manusia. Namun bakteri yang dikategorikan sebagai
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) golongan A1 ini dapat menimbulkan
kerusakan atau kegagalan produksi hingga mencapai 70 persen. selain itu bakteri
ini juga bisa menular ke tanaman lainnya termasuk tanaman bawang. Tentu hal ini
sangat berbahaya bagi pertanian nasional ditengah upaya swasembada pangan
nasional.
Bukan
suatu kebetulan jika harga cabai di Indonesia selalu mengalami lonjakan setiap
tahunnya. Bahkan tingginya harga cabai di Indonesia memicu inflasi (kenaikan
harga barang secara umum) dalam beberapa bulan terkahir. Harga cabai merah yang
pernah menyentuh 100 ribu rupiah per kilogram, mengisyaratkan bahwa cabai merah
merupakan komoditas yang memiliki arti penting dan sangat menjanjikan dalam
perdagangan sayuran di Indonesia. Apalagi kebutuhan cabai di Indonesia selalu
tinggi, sehingga hal ini menjadi daya tarik bagi petani ataupun bagi pedagang.
Bagi petani, meski kenaikan harga cabai yang tinggi tidak sepenuhnya dinikmati,
namun dibandingkan dengan komoditas lainnya bertanam cabai lebih menjanjikan
bagi petani.
Kembali
kepada penemuan bakteri Erwinia Chrysanthemi pada tanaman cabai yang ditanam
oleh warga negara asing tersebut. Tentu hal ini menyisakan beberapa keanehan.
Yang pertama, empat warga negara asal Tiongkok yang bercocok tanam cabai
tersebut masuk ke Indonesia tersebut masuk ke Indonesia memakai paspor
pariwisata, sehingga aksi tanam cabai tersebut merupakan perbuatan ilegal. Aktivitas
ini melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian,
diantaranya terkait penyalahgunaan izin tinggal. Apakah hal ini ada hubungannya
dengan kebijakan bebas visa terhadap turis asing dari 169 negara yang menjadi
pintu masuk bagi tenaga kerja
asing (TKA) ilegal di Indonesia ?
Tidak
dapat dipungkiri bahwa jumlah wisatawan mancanegara pada tahun ini mengalami lonjakan
yang luar biasa. Bahkan pada bulan Juli hingga Oktober kunjungan wisman lebih dari 1 juta
orang/bulan. Sampai dengan Bulan September 2016, jumlah kunjungan wisman
mencapai 8.362.963 orang atau mengalami peningkatan 8,51 persen dibanding
periode yang sama pada tahun 2015. Dan yang lebih mengejutkan lagi
terdapat lonjakan jumlah wisatawan dari Tiongkok pada tahun 2016 ini. Hingga
Bulan September 2016 jumlah wisman asal Tiongkok mencapai 1.177.169 orang. Jika
pada tahun-tahun sebelumnya wisatawan asal Singapura, Malaysia, dan Autralia mendominasi
kunjungan wisman ke Indonesia, maka pada tahun ini wisman asal Tiongkok yang
paling banyak dengan jumlah 14,24 persen dari seluruh kunjungan,
disusul wisman Singapura, Malaysia, dan Australia.
Apabila
lonjakan wisman ini ada korelasi dengan banyaknya WNA yang melakukan aktifitas
ilegal yang tertangkap, maka perlu dievaluasi kembali kebijakan bebas visa
tersebut. Betul bahwa meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan akan memberikan
banyak keuntungan bagi Indonesia, karena akan menggerakkan denyut perekonomian
di Indonesia. Namun juga perlu dipikirkan dampak buruk dari masuknya WNA dengan
paspor pariwisata ini, terlebih apabila mereka menjadi TKA ilegal ditengah
tingkat pengangguran yang cukup tinggi di Indonesia.
Keanehan yang ke dua, aktifitas penanaman cabai oleh
WNA asal Tiongkok tersebut dilakukan pada lahan yang tersembunyi di atas
perbukitan dengan luas 4000 meter persegi. Hal ini menimbulkan sebuah
pertanyaan terhadap motif penanaman tersebut. Apakah dilakukan untuk mencari
keuntungan dengan ikut serta menjual cabai ditengah harga cabai yang tinggi
ataukah sengaja untuk menyebarkan bakteri yang dapat merusak tanaman cabai di
Indonesia? Apabila untuk ikut ambil bagian dalam menjual cabai ditengah harga
yang tinggi, maka lahan 4000 meter persegi merupakan luasan yang kecil,
terlebih pengerjaannya dilakukan oleh empat orang yang berani mempertaruhkan
nasibnya dengan melanggar UU keimigrasian.
Akan lebih berbahaya lagi apabila aktifitas ini
dilakukan bertujuan untuk menyebarkan bakteri baru yang mengancam produk
pertanian di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang besar, tentu kebutuhan akan
produk pertanian sebagai konsumsi bagi rakyat Indonesia juga besar. Jika
produksi komodiats pertanian dalam negeri rusak dan gagal panen yang disebabkan
oleh bakteri baru yang berbahaya, maka kebutuhan konsumsi produk pertanian
dalam negeri tidak akan terpenuhi. Apalagi produk pertanian sebagai sumber
pangan sangat sensitif yang bisa memicu gejolak sosial di masyarakat. Sehingga
untuk mengatasi hal tersebut pemerintah akan membuka keran impor terhadap
beberapa produk pertanian untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negreri. Dibukanya
keran impor ini akan menguntungkan bagi negara lain yang memang memiliki
kepentingan terhadap Indonesia.
Apapun alasannya, hal tersebut harus menjadi perhatian
bagi seluruh komponen bangsa. Pengawasan terhadap masuknya warga negara asing
ke Indonesia harus semakin ketat dilakukan. Jangka waktu tinggal hingga barang
yang mereka bawa harus menjadi perhatian serius bagi pihak imigrasi dan
karantina. Jangan sampai terulang kembali barang-barang terlarang hingga benih
tanaman ilegal yang tidak bersertifikasi bisa lolos masuk ke Indonesia. Karena
hal ini jelas sangat merugikan bagi Indonesia yang dapat mengancam ketahanan
nasional.
Dimuat di harian Radar Banten, 19 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar