Keberhasilan
pemerintah Provinsi
Jawa Tengah dalam memacu
pertumbuhan ekonomi hingga 5,06
persen
pada
triwulan III tahun 2016 telah mampu
menambah penyerapan tenaga kerja hingga 76 ribu orang dalam setahun
terakhir.
Namun
ada yang hal perlu dicermati bahwa perekonomian Jateng
yang berperan 8,82 persen
terhadap perekonomian nasional dan
tumbuh sebesar 5,06 persen ternyata hanya mampu menyerap tenaga kerja baru pada
sektor pertanian dan transportasi saja. Sedangkan untuk sektor lainnya
mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja, tidak terkecuali sektor industri,
perdagangan, dan konstruksi yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian Jateng.
Industri dengan kontribusinya sebesar 34,48 persen menjadi
sektor yang paling dominan dalam menopang
perekonomian Jateng. Meski sektor
industri tumbuh sebesar 4,55 persen, namun justru mengalami penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 16 ribu orang dalam setahun terakhir.
Artinya setiap pertumbuhan sektor industri sebesar 1 persen dibarengi dengan berkurangnya
jumlah tenaga kerja sebanyak 3.517 orang. Dengan kenyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa investasi yang masuk pada sektor
industri merupakan investasi padat modal yang memanfaatkan teknologi tinggi,
bukan investasi padat karya yang akan
menyerap
tenaga kerja baru.
Demikian
juga untuk sektor konstruksi yang berkontribusi 10,03 persen terhadap
perekonomian Jateng dan tumbuh sebesar 7,61 persen ternyata juga tidak mampu
menyerap tenaga kerja baru. Yang terjadi malah mengalami penurunan jumlah
tenaga kerja selama satu tahun terakhir hingga 98.000 orang. Apakah ini ada kaitannya
dengan investasi asing beserta Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke
Indonesia?
Jika hal tersebut benar, maka diperlukan pengaturan
kebijakan dalam pengendalian TKA guna melindungi tenaga kerja domestik.
Terlebih di Jateng terdapat 54.240 orang pengangguran dengan pendidikan SMP
kebawah. Sedangkan konstruksi sebagai
sektor yang
paling mungkin menyerap tenaga kerja dengan pendidikan tersebut ternyata malah mengalami penurunan penyerapan
tenaga kerja. Hal
ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk memikirkan lapangan kerja bagi
angkatan kerja dengan pendidikan rendah tersebut.
Sektor lain yang juga banyak mengalami penurunan
penyerapan tenaga kerja adalah sektor perdagangan dengan penurunan sebesar 93
ribu orang. Dengan kontribusinya sebesar 12,99 persen terhadap perekonomian
Jateng, sektor perdagangan hanya mampu tumbuh sebesar 1,78 persen. Apakah ini
ada hubungannya dengan penurunan jumlah penduduk bekerja dengan status berusaha
sendiri dan berusaha dibantu buruh tetap/dibayar yang mencapai 0,13 juta orang?
Artinya banyak wirausaha perorangan dan mikro kecil yang gulung tikar usahanya
dan beralih pada sektor pertanian, mengingat pada sektor pertanian terjadi
penyerapan tenaga kerja baru hingga 358 ribu orang. Bukan berarti mengecilkan arti penting sektor
pertanian, namun meski banyak penduduk yang bekerja pada sektor pertanian,
namun tingkat kemiskinan di perdesaan juga meningkat dari 14,86 persen menjadi
14,89 persen. Tentu kita semua tidak menginginkan jika hanya sekedar bekerja
dan angka pengangguran menurun, namun kondisinya tidak sejahtera.
Jika benar bahwa banyak usaha perorangan yang gulung
tikar, maka harus ada perbaikan iklim usaha di Jateng. Perbaikan dalam bentuk
kemudahan berusaha, pelatihan memanfaatkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan
nilai tambah, dan pelatihan pemasaran produk mutlak diperlukan segera. Terlebih
di era sekarang dengan adanya teknologi informasi yang memungkinkan jangkauan
pemasaran tanpa batas. Kisah sukses pedagang online bisa menjadi inspirasi bagi
pengusaha konvensional untuk berinovasi dalam hal kualitas produk dan pemasaran.
Perhatian Serius Bagi
Buruh
Tidak dapat dipungkiri
bahwa industri merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi
Jawa Tengah setelah sektor pertanian dan perdagangan. Ada sebanyak 3,25 juta tenaga kerja yang
menggantungkan hidupnya pada sektor industri di Jateng. Sehingga fluktuasi pada sektor
industri akan berpengaruh besar terhadap masalah ketenagakerjaan di Jateng. Apalagi setelah kita
cermati, bahwa pertumbuhan yang terjadi pada sektor industri tidak dibarengi
dengan penyerapan tenaga kerja baru, namun justru terjadi penurunan jumlah
tenaga kerja. Sehingga hal ini harus menjadi kewaspadaan bagi pekerja di Jateng khususnya yang bekerja
pada sektor industri.
Ditengah
gelombang tuntutan kenaikan UMP dan penolakan pemberlakuan PP Nomor 78 Tahun
2015, apabila tidak bijak dalam menyikapinya, maka hal tersebut justru bisa
menjadi bumerang bagi buruh itu sendiri. Karena bagi sektor industri di Jateng, untuk meningkatkan produktifitas lebih efisien dengan menambah investasi
padat modal yang berteknologi tinggi daripada dengan menambah jumlah
tenaga kerja. Sehingga dalam jangka
panjang, penggunaan tenaga kerja di sektor industri akan berkurang dan akan
tergantikan oleh penggunaan teknologi mesin.
Kehadiran pemerintah mutlak diperlukan untuk mengatasi
masalah ketenagakerjaan di Jateng. Pelatihan ketrampilan dan keahlian sehingga
menghasilkan SDM yang memiliki standar kompetensi, terutama bagi lulusan
SMA/SMK yang tercatat paling banyak menganggur yaitu dengan jumlah 83.200
orang. Selain itu juga pemerintah harus mendorong masyarakat untuk menciptakan
lapangan usaha baru melalui pelatihan kewirausahaan dan perbaikan iklim usaha untuk
melahirkan wirausaha baru yang mampu memberdayakan sumberdaya lokal dengan
memanfaatkan teknologi yang terus berkembang. Dengan demikian perekonomian yang
tumbuh akan semakin berkualitas karena menciptakan peluang baru dan mampu
meningkatkan kesejahteraan yang merata di Jawa Tengah.
Dimuat di harian Suara Merdeka, 14
November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar