Pada tanggal 1 November 2016, kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP)
diumumkan serentak di seluruh Indonesia. Penetapan UMP tahun 2017 menggunakan
PP Nomor 78 Tahun 2015, yang merupakan salah satu formula strategis nasional
dalam paket kebijakan ekonomi jilid IV. Keluarnya PP ini diharapkan sekaligus
mengakhiri polemik penghitungan UMP pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam penghitungan UMP yang baru, dimasukkan komponen inflasi dan
pertumbuhan ekonomi nasional yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Penggunaan
formula baru ini menimbulkan protes dari pihak buruh dengan meminta Gubernur agar
tidak menggunakan formula penghitungan UMP sesuai PP tersebut. Pihak buruh
menganggap PP tersebut mengesampingkan peran dewan pengupahan dan kenaikan UMP sebesar
8,25 persen tidak sesuai dengan Komponen Hidup Layak (KHL).
Dimasukkannya
pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi kedalam formula penghitungan UMP untuk
mengakomodir kepentingan buruh dan pengusaha. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan
perkembangan usaha, peningkatan produktifitas, dan kemampuan usaha untuk
merespon kenaikan upah, termasuk kemampuan untuk menyerap tenaga kerja yang
baru. Sedangkan inflasi menggambarkan beban kenaikan harga barang kebutuhan
hidup dari pihak buruh. Beban kenaikan harga inilah yang kemudian harus
ditanggung oleh pihak pengusaha sebagai kompensasi atas tenaga yang telah buruh
berikan melalui kenaikan upah.
Buruh menuntut penghitungan UMP tahun 2017 tetap menggunakan KHL,
karena kenaikan UMP sebesar 8,25 persen dianggap belum memenuhi kebutuhan hidup
layak bagi buruh lajang. Kenaikan 8,25 persen ini berasal dari pertumbuhan
ekonomi nasional triwulan II sebesar 7,18 persen ditambah dengan inflasi year on year September 3,07 persen.
Inflasi sebesar 3,07 persen artinya selama satu tahun terakhir dari
bulan September 2015 hingga September 2016 telah terjadi kenaikan harga-harga
barang secara umum sebesar 3,07 persen. Apabila dilihat menurut kelompok pengeluaran,
inflasi paling besar terjadi pada kelompok pengeluaran bahan makanan sebesar
6,20 persen, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 5,83 persen,
kelompok sandang dan kesehatan sebesar 3,98 persen dan 3,97 persen. Inflasi secara
umum dihitung dengan mengalikan inflasi masing-masing kelompok pengeluaran
dengan penimbang dari masing-masing kelompok pengeluaran tersebut. Penimbang
ini merupakan proporsi pengeluaran dari setiap kelompok pengeluaran terhadap
total pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan, yang diperoleh melalui survei
biaya hidup (SBH) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012..
Kemudian yang jadi
masalah apakah penimbang hasil Survei Biaya Hidup BPS tersebut sama dengan
penimbang dari survei Komponen Hidup Layak yang dilakukan oleh dewan pengupahan
pada tahun sebelumnya? Sehingga angka inflasi 3,07 persen benar-benar
menggambarkan kenaikan harga barang kebutuhan hidup layak? Karena untuk survei
biaya hidup respondennya merupakan rumah tangga, sedangkan untuk survei
kebutuhan hidup layak respondennya adalah pekerja lajang. Tentu proporsi
pengeluaran untuk rumah tangga dan pekerja lajang akan sangat berbeda.
Semakin besar proporsi pengeluaran, akan semakin besar pula andilnya
terhadap inflasi. Terlebih dalam setahun terakhir inflasi paling besar terjadi
pada kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan
tembakau. Jika ternyata proporsi pengeluaran pekerja lajang untuk bahan
makanan, makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau ini lebih besar dari
proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pengeluaran yang sama, tentu akan menghasilkan
kenaikan harga/inflasi yang lebih besar dari inflasi umum 3,07 persen. Selisih angka
inflasi inilah yang merupakan kenaikan harga kebutuhan hidup layak (KHL) yang
tidak ditanggung oleh pengusaha sebagai akibat dari selisih penghitungan
formula baru UMP.
Bagaimana Untuk
kedepannya?
Sudah menjadi
kebutuhan yang mendesak untuk segera mengevaluasi komponen KHL. Terlebih
komponen pengeluaran KHL yang digunakan untuk penghitungan KHL tahun lalu masih
berdasarkan Permennakertrans No. 13 Tahun 2012. Sedangkan komponen pengeluaran
untuk hidup layak pekerja saat ini tentu sudah jauh berbeda dengan kondisi
pengeluaran pekerja pada tahun 2012.
Dan akan lebih akurat jika pelaksanaan survei KHL waktunya sama
dengan pelaksanaan Survei Biaya Hidup oleh BPS. Hal ini bertujuan agar tahun
dasar yang digunakan sama dan kelompok pengeluaran yang dimasukkan dalam KHL
disesuaikan dengan kelompok pengeluaran pada SBH. Karena proporsi pengeluaran
yang akan dihasilkan oleh kedua survei tersebut berbeda, maka untuk menghitung inflasi
umum KHL dapat digunakan inflasi kelompok pengeluaran hasil survei BPS
dikalikan dengan penimbang/proporsi kelompok pengeluaran KHL yang sesuai. Sehingga
inflasi umum yang digunakan pada formula penghitungan UMP selanjutnya merupakan
inflasi yang benar-benar menggambarkan kenaikan harga Komponen Hidup Layak.
Dimuat di harian Radar Banten, 8
November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar