Pada tahun 2017
Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok sebesar 13,46 persen. faktor yang
mempengaruhi pemerintah dalam menetapkan angka kenaikan cukai tersebut yakni
pengendalian produksi, faktor kesehatan, keterjagaan tenaga kerja, pencegahan
peredaran rook illegal, dan penerimaan negara dari cukai. Tujuan utama dari
pemerintah menaikkan cukai rokok ini adalah untuk mengendalikan jumlah perokok
di Indonesia. Seperti diketahui bahwa jumlah perokok di Indonesia diperkirakan
mencapai 90 juta orang dan menempati peringkat satu dunia berdasarkan data The
Tobacco Atlas 2015. Lebih miris lagi, konsumen rokok di Indonesia tidak hanya
orang dewasa, namun juga anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah.
Kekhawatiran pemerintah ini karena prevalensi perokok di Indonesia
semakin meningkat setiap tahun dan turut meningkatkan jumlah pasien penyakit
tidak menular. Sebagian besar faktor resiko penyakit tidak menular, salah
satunya kebiasaan merokok hak ini jelas mengurangi kualitas kesehatan penduduk,
mengurangi produktifitas kerja dan mengurangi daya saing sumber daya manusia
Indonesia.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa cukai rokok menyumbang penerimaan negara yang cukup besar,
yaitu sekitar 11,72 persen. Namun dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan
akibat efek samping rokok terutama di bidang kesehatan, belum juga kualitas
hidup dan daya saing SDM, maka hal tersebut menjadi perhatian serius pemerintah
untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Dengan menaikkan
cukai rokok, secara teori akan meningkatkan biaya produksi perusahaan rokok,
yang pada akhirnya untuk menutupi pengeluaran tersebut harga produksi rokok
akan dinaikkan. Secara mikro, kenaikan harga barang produksi akan mengurangi
permintaan terhadap barang tersebut. Karena hal itu akan mengurangi daya beli
masyarakat. Contohnya dalam mengurangi daya beli adalah yang semula dengan uang
Rp. 16.000,- akan memperoleh satu bungkus rokok, setelah kenaikan harga maka
dengan uang yang sama tidak akan memperoleh 1 bungkus rokok lagi. Namun hal ini
akan berbeda jika barang tersebut merupakan barang kebutuhan pokok, seperti
halnya beras. Kenaikan harga beras, tidak akan mengurangi jumlah konsumsi
beras, karena beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Nah,
yang menjadi pertanyaan apakah rokok merupakan konsumsi pokok bagi sebagian masyarakat
Indonesia? Sehingga berapapun kenaikan harganya tidak akan mempengaruhi jumlah permintaannya.
Selain dengan
menaikkan cukai rokok, kebijakan lain yang telah dilakukan oleh pemerintah
adalah dengan cara edukasi, melalui iklan layanan publik, peringatan bahaya
merokok di setiap bungkus rokok, dan melarang tayangan iklan rokok di televisi.
Namun yang terjadi, seolah berbagai peringatan tentang bahaya rokok tersebut
seolah tidak mengurangi jumlah permintaan rokok. Sehingga pada akhirnya diperlukan
kesadaran individu dan kolektif untuk bisa berhenti dari kebiasaan merokok yang
sudah bagaikan candu bagi masyarakat.
Bagi perekonomian
Indonesia, kenaikan cukai rokok ini akan berdampak terutama pada angka inflasi.
Karena rokok merupakan salah satu komoditas yang memiliki andil dalam
pengeluaran masyarakat Indonesia, sehingga setiap kenaikan harganya akan
berpengaruh terhadap angka inflasi. Diperkirakan kenaikan inflasi yang
ditimbulkan oleh kenaikan harga rokok ini sebesar 0,23 persen dan tidak akan
melebihi target inflasi tahun 2017 sebesar 4 persen. Dimana untuk mencapai
kondisi ideal, inflasi pertahun harus dijaga pada kisaran 2 hingga 4 persen per
tahun. Seperti halnya inflasi tahun ke tahun pada bulan September 2016 yang
nilainya sebesar 3,07 persen atau masih dalam kondisi ideal untuk perekonomian
Indonesia. Demikian juga untuk wilayah Banten, Inflasi tahun ke tahun bulan
Agustus 2016 juga sebesar 3,01 persen dan masih dibawah angka inflasi nasional.
Pada tingkat nasional, kenaikan inflasi pada Bulan September 2016 dipicu oleh
kenaikan harga kelompok
makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,34 persen; kelompok perumahan,
air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,29 persen; kelompok sandang 0,13 persen;
kelompok kesehatan 0,33 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga
0,52 persen; dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,19 persen.
Sedangkan untuk kelompok bahan makanan mengalami deflasi atau penurunan harga
secara umum.
Dampak lain yang dikhawatirkan adalah jika harga rokok naik dan
permintaan menurun, maka akan terjadi pengurangan produksi rokok hingga pada
akhirnya akan terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja di industri rokok.
Pengurangan tenaga kerja ini akan meningkatkan jumlah pengangguran yang berpeluang
menambah jumlah penduduk miskin. Namun hal ini bisa diminimalisir, karena untuk
industri rokok sekarang sudah banyak yang beralih pada penggunaan tenaga mesin
untuk proses produksinya, kecuali untuk rokok kretek yang masih padat karya.
Jadi kalaupun terjadi pengurang jumlah tenaga kerja, tidak akan terlalu
signifikan.
Bagaimana hubungan rokok dengan kemiskinan? Pada penduduk miskin,
pengeluaran untuk konsumsi rokok merupakan penyumbang garis kemiskinan terbesar
kedua setelah beras. Sebagai contoh, pada kondisi Maret 2016 jumlah penduduk
miskin di Banten sebanyak 5,42 persen, dengan sumbangan konsumsi rokok terhadap
garis kemiskinan sebesar 11,83 persen untuk perkotaan, dan 6,49 persen untuk
perdesaan. Nilai pengeluaran untuk rokok ini jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan pengeluaran untuk tempe,telur, daging ayam dan sumber protein lainnya. Bisa
dibayangkan bagaimana penduduk miskin membelanjakan uangnya hanya untuk rokok
yang tidak memiliki manfaat terhadap kesehatan, namun justru mengurangi kualitas
kesehatan dan tingkat produktifitas kerja. Harapannya dengan kenaikan harga
rokok tersebut, membuat penduduk miskin mengurangi dan bahkan menghapus
pengeluaran untuk rokok tersebut serta mengalihkannya untuk pengeluaran yang
bisa meningkatkan kualitas hidup keluarganya. Dengan kualitas hidup yang
meningkat, diharapkan dapat menaikkan produktifitas kerja dan mengeluarkannya
dari jeratan kemiskinan.
Namun hal yang tentu tidak kita harapkan adalah kenaikan harga
rokok tersebut tidak mengurangi konsumsi rokok karena menganggap rokok seperti
kebutuhan pokok yang tidak bisa dihindarkan. Tentu kondisi ini akan mengurangi
porsi untuk pengeluaran lainnya seperti untuk makanan, kesehatan, dan
pendidikan. Yang pada akhirnya akan memperparah kemiskinan itu sendiri. Pada
kondisi demikian diperlukan edukasi dan penyuluhan guna menyadarkan penduduk
dari bahaya merokok, terutama pada penduduk miskin dan hampir miskin.
Penyadaran untuk mengalihkan pengeluaran rokok untuk kebutuhan lain yang lebih
prioritas dan produktif sehingga mampu mengeluarkannya dari garis kemiskinan.
Pada akhirnya dibalik pro kontra dan berbagai dampak yang mungkin ditimbulkan
dari kenaikan cukai rokok ini, kita patut mengapresiasi dan mendukung kebijakan
pemerintah tersebut. Karena hal ini merupakan salah satu langkah pemerintah
untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia guna menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang
sehat dan produktif, yang memiliki daya saing tidak hanya di tingkat nasional
namun juga internasional.
Dimuat di harian Banten Pos, 07 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar