Halaman

Sabtu, 08 Oktober 2016

Cukai Rokok, Inflasi Dan Kemiskinan




            Pada tahun 2017 Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok sebesar 13,46 persen. faktor yang mempengaruhi pemerintah dalam menetapkan angka kenaikan cukai tersebut yakni pengendalian produksi, faktor kesehatan, keterjagaan tenaga kerja, pencegahan peredaran rook illegal, dan penerimaan negara dari cukai. Tujuan utama dari pemerintah menaikkan cukai rokok ini adalah untuk mengendalikan jumlah perokok di Indonesia. Seperti diketahui bahwa jumlah perokok di Indonesia diperkirakan mencapai 90 juta orang dan menempati peringkat satu dunia berdasarkan data The Tobacco Atlas 2015. Lebih miris lagi, konsumen rokok di Indonesia tidak hanya orang dewasa, namun juga anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah.
Kekhawatiran pemerintah ini karena prevalensi perokok di Indonesia semakin meningkat setiap tahun dan turut meningkatkan jumlah pasien penyakit tidak menular. Sebagian besar faktor resiko penyakit tidak menular, salah satunya kebiasaan merokok hak ini jelas mengurangi kualitas kesehatan penduduk, mengurangi produktifitas kerja dan mengurangi daya saing sumber daya manusia Indonesia.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa cukai rokok menyumbang penerimaan negara yang cukup besar, yaitu sekitar 11,72 persen. Namun dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan akibat efek samping rokok terutama di bidang kesehatan, belum juga kualitas hidup dan daya saing SDM, maka hal tersebut menjadi perhatian serius pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
            Dengan menaikkan cukai rokok, secara teori akan meningkatkan biaya produksi perusahaan rokok, yang pada akhirnya untuk menutupi pengeluaran tersebut harga produksi rokok akan dinaikkan. Secara mikro, kenaikan harga barang produksi akan mengurangi permintaan terhadap barang tersebut. Karena hal itu akan mengurangi daya beli masyarakat. Contohnya dalam mengurangi daya beli adalah yang semula dengan uang Rp. 16.000,- akan memperoleh satu bungkus rokok, setelah kenaikan harga maka dengan uang yang sama tidak akan memperoleh 1 bungkus rokok lagi. Namun hal ini akan berbeda jika barang tersebut merupakan barang kebutuhan pokok, seperti halnya beras. Kenaikan harga beras, tidak akan mengurangi jumlah konsumsi beras, karena beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Nah, yang menjadi pertanyaan apakah rokok merupakan konsumsi pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia? Sehingga berapapun kenaikan harganya tidak akan mempengaruhi jumlah permintaannya.
            Selain dengan menaikkan cukai rokok, kebijakan lain yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan cara edukasi, melalui iklan layanan publik, peringatan bahaya merokok di setiap bungkus rokok, dan melarang tayangan iklan rokok di televisi. Namun yang terjadi, seolah berbagai peringatan tentang bahaya rokok tersebut seolah tidak mengurangi jumlah permintaan rokok. Sehingga pada akhirnya diperlukan kesadaran individu dan kolektif untuk bisa berhenti dari kebiasaan merokok yang sudah bagaikan candu bagi masyarakat.
            Bagi perekonomian Indonesia, kenaikan cukai rokok ini akan berdampak terutama pada angka inflasi. Karena rokok merupakan salah satu komoditas yang memiliki andil dalam pengeluaran masyarakat Indonesia, sehingga setiap kenaikan harganya akan berpengaruh terhadap angka inflasi. Diperkirakan kenaikan inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga rokok ini sebesar 0,23 persen dan tidak akan melebihi target inflasi tahun 2017 sebesar 4 persen. Dimana untuk mencapai kondisi ideal, inflasi pertahun harus dijaga pada kisaran 2 hingga 4 persen per tahun. Seperti halnya inflasi tahun ke tahun pada bulan September 2016 yang nilainya sebesar 3,07 persen atau masih dalam kondisi ideal untuk perekonomian Indonesia. Demikian juga untuk wilayah Banten, Inflasi tahun ke tahun bulan Agustus 2016 juga sebesar 3,01 persen dan masih dibawah angka inflasi nasional. Pada tingkat nasional, kenaikan inflasi pada Bulan September 2016 dipicu oleh kenaikan harga kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,34 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,29 persen; kelompok sandang 0,13 persen; kelompok kesehatan 0,33 persen; kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 0,52 persen; dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 0,19 persen. Sedangkan untuk kelompok bahan makanan mengalami deflasi atau penurunan harga secara umum.
Dampak lain yang dikhawatirkan adalah jika harga rokok naik dan permintaan menurun, maka akan terjadi pengurangan produksi rokok hingga pada akhirnya akan terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja di industri rokok. Pengurangan tenaga kerja ini akan meningkatkan jumlah pengangguran yang berpeluang menambah jumlah penduduk miskin. Namun hal ini bisa diminimalisir, karena untuk industri rokok sekarang sudah banyak yang beralih pada penggunaan tenaga mesin untuk proses produksinya, kecuali untuk rokok kretek yang masih padat karya. Jadi kalaupun terjadi pengurang jumlah tenaga kerja, tidak akan terlalu signifikan.
Bagaimana hubungan rokok dengan kemiskinan? Pada penduduk miskin, pengeluaran untuk konsumsi rokok merupakan penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua setelah beras. Sebagai contoh, pada kondisi Maret 2016 jumlah penduduk miskin di Banten sebanyak 5,42 persen, dengan sumbangan konsumsi rokok terhadap garis kemiskinan sebesar 11,83 persen untuk perkotaan, dan 6,49 persen untuk perdesaan. Nilai pengeluaran untuk rokok ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk tempe,telur, daging ayam dan sumber protein lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana penduduk miskin membelanjakan uangnya hanya untuk rokok yang tidak memiliki manfaat terhadap kesehatan, namun justru mengurangi kualitas kesehatan dan tingkat produktifitas kerja. Harapannya dengan kenaikan harga rokok tersebut, membuat penduduk miskin mengurangi dan bahkan menghapus pengeluaran untuk rokok tersebut serta mengalihkannya untuk pengeluaran yang bisa meningkatkan kualitas hidup keluarganya. Dengan kualitas hidup yang meningkat, diharapkan dapat menaikkan produktifitas kerja dan mengeluarkannya dari jeratan kemiskinan.
Namun hal yang tentu tidak kita harapkan adalah kenaikan harga rokok tersebut tidak mengurangi konsumsi rokok karena menganggap rokok seperti kebutuhan pokok yang tidak bisa dihindarkan. Tentu kondisi ini akan mengurangi porsi untuk pengeluaran lainnya seperti untuk makanan, kesehatan, dan pendidikan. Yang pada akhirnya akan memperparah kemiskinan itu sendiri. Pada kondisi demikian diperlukan edukasi dan penyuluhan guna menyadarkan penduduk dari bahaya merokok, terutama pada penduduk miskin dan hampir miskin. Penyadaran untuk mengalihkan pengeluaran rokok untuk kebutuhan lain yang lebih prioritas dan produktif sehingga mampu mengeluarkannya dari garis kemiskinan.

Pada akhirnya dibalik pro kontra dan berbagai dampak yang mungkin ditimbulkan dari kenaikan cukai rokok ini, kita patut mengapresiasi dan mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Karena hal ini merupakan salah satu langkah pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia guna  menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan produktif, yang memiliki daya saing tidak hanya di tingkat nasional namun juga internasional.

Dimuat di harian Banten Pos, 07 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...