Menteri pertanian Amran Sulaiaman dalam suatu kunjungan kerjanya di
Propinsi Banten bulan ini mengatakan bahwa seharusnya petani di Banten kaya
raya, karena secara geografis lahan pertanian di Banten masih luas dan
lokasinya yang dekat dengan Ibu Kota Jakarta. Namun apakah demikian kondisinya?
Dan apa yang menyebabkan petani belum bisa sejahtera apalagi kaya raya seperti
yang disampaikan oleh Pak Menteri?
Sektor pertanian yang menyumbang 5,98 persen terhadap perekonomian
Banten, dan nilai ini mengalami peningkatan disbanding dengan lima tahun yang
lalu, belum mampu mengangkat kesejahteraan petani di Banten. Sektor pertanian
yang tumbuh 7,08 persen pada tahun 2015 belum juga mampu mengurangi tingkat kemiskinan
petani di wilayah pedesaan. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah penduduk
miskin di daerah pedesaan di Propinsi Banten dari 7,12 persen pada Bulan September
2015 menjadi 7,45 persen pada Bulan Maret 2016. Meski secara propinsi angka
kemiskinan di Banten mengalami penurunan, namun jika dirinci menurut wilayah,
jumlah penduduk miskin di tingkat pedesaan mengalami peningkatan sebesar 0.33
poin.
Selain itu sektor pertanian juga menjadi tumpuan hidup bagi 12,9
persen tenaga kerja di Propinsi Banten. Hal ini berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Bulan
Februari 2016. Meski sektor pertanian cukup banyak menyerap tenaga kerja, namun
hal ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Sedangkan jika dirinci
menurut subsektor, petani di Banten paling banyak mengusahakan tanaman pangan
yaitu sebesar 45,99 persen dengan jumlah paling banyak terdapat di Kabupaten Lebak.
Jika dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) Banten, pada tahun 2015 rata-rata
nilai NTP Banten sebesar 104,76. Meski secara rata-rata nilainya diatas 100
namun dalam bulan berjalan terjadi fluktuasi nilai NTP selama tahun 2015. NTP
merupakan salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. NTP
mengukur perbandingan antara indeks perubahan harga yang diterima petani dan
indeks perubahan harga yang dibayar petani. Jika NTP diatas nilai 100 maka
petani dianggap sejahtera, karena kenaikan harga-harga yang diterima oleh
petani lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga-harga yang harus dibayar
oleh petani. Harga-harga yang harus dibayar ini meliputi harga barang-barang
konsumsi rumah tangga, harga barang modal pertanian seperti benih, pupuk,
alat-alat pertanian, sewa tanah, sewa alat, upah buruh dan pengeluaran lainnya.
Sedangkan harga yang diterima petani meliputi harga komoditas sektor pertanian.
Jika luas lahan pertanian menjadi salah satu indikator bagi petani
untuk bisa kaya raya, maka mari kita lihat bagaimana penguasaan lahan pertanian
oleh petani. Sebagian besar petani di Propinsi Banten adalah petani penggarap
yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri. Menurut hasil Sensus Pertanian tahun
2013, terdapat 584.259 rumah tangga petani pengguna lahan. Apabila dilihat dari
luas lahan pertanian yang dikuasai, masih terdapat 634.415 rumah tangga petani
gurem, yaitu petani pengguna lahan yang menguasai lahan pertanian kurang dari
0,5 hektar. Bagaimana petani bisa kaya,
jika hasil produksi pertaniannya harus dibagi lagi dengan pemilik lahan. Meski
tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah telah berhasil meningkatkan
produktifitas pertanian terutama subsektor tanaman pangan yaitu padi dari 5,29
ton/hektar pada tahun 2014 menjadi 5,66 ton/hektar pada tahun 2015.
Keberhasilan pemerintah ini tidak terlepas dari upaya khusus yang telah
dilakukan seperti penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, pemberantasan hama
terpadu dan pompanisasi untuk antisipasi musim kemarau. Meski produktifitas
naik, namun petani masih belum bisa menikmati harga gabah yang secara ekonomi
menguntungkan petani. Perlu dikaji lagi tentang harga pokok pembelian gabah
yang menguntungkan bagi petani. Karena dengan harga pembelian yang rendah sedangkan
harga kebutuhan konsumsi terus mengalami kenaikan yang lebih tinggi, maka hal
ini akan menurunkan tingkat daya beli bagi petani. Sedangkan kenaikan harga
barang kebutuhan konsumsi sendiri berpengaruh 0,62 persen terhadap penurunan
kesejahteraan petani.
Selain itu perlu
adanya antisipasi dan mitigasi bencana terhadap fenomena perubahan iklim yang
bisa mengakibatkan gagal panen/puso. Fenomena el nino (kekeringan) atau la
nina (curah hujan tinggi) harus diantisipasi dari awal sehingga gagal panen
bisa diminimalisir. Selain dengan program pompanisasi pada musim kering,
penajaman kalender tanam (katam) perlu dilakukan dengan memperhatikan prakiraan
iklim dalam tahun tersebut. Disamping persiapan teknis tersebut, juga
diperlukan sentuhan teknologi dalam penciptaan bibit unggul yang adaptif
terhadap perubahan iklim, yaitu bibit tanaman yang mampu bertahan pada kondisi
air kurang dan mampu bertahan pada genangan atau rendaman.
Satu hal yang
tidak boleh terlupa yaitu diperlukan langkah strategis dari pemerintah untuk
menarik petani kembali bersemangat menggarap lahannya. Berdasarkan hasil Sensus
Pertanian tahun 2003 jumlah rumah tangga tani di Banten sebanyak 891.465 rumah
tangga dan selama 10 tahun kemudian mengalami penurunan sebesar 3,36 persen
menjadi 592.410 rumah tangga. Terjadi perubahan mata pencaharian dari sektor
pertanian ke sektor yang lain seperti sektor perdagangan dan jasa, sektor
industry pengolahan, serta sektor konstruksi. Hal ini dikarenakan karena sektor
pertanian dianggap kurang menguntungkan, tidak cepat memberikan hasil, dan
penguasaan lahan pertanian yang semakin berkurang di tingkat petani. Untuk
kembali menarik petani/generasi muda kembali turun ke sawah perlu dibuat payung
yang melindung petani dari kegagalan panen seperti asuransi petani. Hal ini
untuk mengantisipasi kegagalan panen yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan
dampak bencana lainnya.
Uraian diatas
harus menjadi perhatian bagi pemerintah supaya Propinsi Banten yang memiliki
potensi lahan pertanian yang luas ini menjadi salah satu lumbung pangan bagi
masyarakat indonesia. Tidak cukup upaya peningkatan produktifitas petanian
saja, namun juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan petani dimasa yang akan
datang. Sehingga harapan bahwa petani di Banten kaya raya bisa terwujud.
Dimuat di harian Kabar Banten, 24 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar