Pada
hari Senin tanggal 18 Juli 2016, Badan Pusat Statistik mengumumkan tentang
angka kemiskinan di Indonesia pada kondisi bulan Maret 2016. Secara nasional,
angka kemiskinan mengalami penurunan dari 28,51 juta jiwa (11,13 persen) pada
September 2015 menjadi 28,01 juta jiwa (10,86 persen) pada Bulan Maret 2016.
Apabila dirinci berdasarkan daerah, kemiskinan di perkotaan turun dari 8,22
persen menjadi 7,79 persen. Sedangkan untuk tingkat pedesaan jumlah penduduk
miskinnya mengalami peningkatan dari 14,09 peren menjadi 14,11 persen.
Hal yang sama juga terjadi di Provinsi
Banten, dimana secara umum kemiskinan di Provinsi Banten mengalami penurunan
dari 5,75 persen pada September 2015 menjadi 5,42 persen pada Maret 2016.
Capaian ini merupakan hal yang menggembirakan, karena pemerintah mampu
menurunkan angka kemiskinan di Provinsi Banten. Namun jika dicermati antara
wilayah perkotaan dan pedesaan, penurunan jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten
hanya terjadi di wilayah perkotaan saja, sedangkan di pedesaan jumlah penduduk
miskinnya mengalami peningkatan. Jumlah penduduk miskin di pedesaan pada bulan
Maret 2016 sebanyak 7,45 persen meningkat jika dibandingkan dengan kondisi
September 2016 yang berjumlah 7,12 persen.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Banten dalam Berita Resmi Statistik, penyebab meningkatnya tingkat kemiskinan
di pedesaan adalah peningkatan upah riil buruh tani yang tidak signifikan dari
Rp. 32.570,- pada September 2015 menjadi Rp. 32.858,- pada Maret 2016. Upah
riil menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima oleh buruh tani.
Perubahan upah buruh ini sangat berpengaruh karena di pedesaan masih banyak
penduduk yang berprofesi sebagai buruh tani. Peningkatan daya beli buruh tani yang
tidak signifikan ini dikarenakan harus mengimbangi tingkat kenaikan harga
barang kebutuhan pokok di pedesaan.
Faktor
yang kedua adalah penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Maret 2016
dibandingkan dengan September 2016 yaitu dari 104,84 menjadi 104,74. Penurunan
nilai tukar petani ini menunjukkan penurunan tingkat kesejahteraan petani.
Penurunan tingkat kesejahteraan petani disebabkan oleh kenaikan harga barang
kebutuhan konsumsi dan ongkos usaha yang lebih besar daripada kenaikan harga
barang komoditas hasil pertanian.
Selain
kedua faktor diatas, kenaikan jumlah penduduk miskin di pedesaan juga
disebabkan oleh penurunan harga gabah kering panen (GKP), gabah kering giling
(GKG), dan harga gabah kualitas rendah. Penurunan harga gabah ini berpengaruh
terhadap pendapatan petani, sedangkan di sisi yang lain harga-harga barang
kebutuhan pokok mengalami kenaikan.
Kenaikan harga barang kebutuhan
pokok di pedesaan salah satunya disebabkan oleh biaya distribusi barang
konsumsi. Apabila diamati, saat ini barang-barang yang dikonsumsi oleh penduduk
pedesaan hampir sama dengan daerah perkotaan. Mulai dari makanan jadi, mie
instan, telur ayam ras, perlengkapan mandi, perlengkapan sekolah, rokok kretek
filter, dan lain sebagainya didatangkan dari perkotaan. Padahal barang-barang
tersebut didistribusikan ke pedesaan dengan biaya angkut yang lebih besar,
sehingga mengakibatkan kenaikan harga barang di pedesaan lebih tinggi daripada
di perkotaan. Hal inilah yang memicu menurunnya tingkat daya beli penduduk
pedesaan dan menambah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Masih seperti periode sebelumnya,
garis kemiskinan di perkotaan didominasi oleh pengeluaran untuk komoditas
makanan berupa beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, dan
mie instan. Sedangkan untuk daerah pedesaan, garis kemiskinan didominasi oleh
beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, roti, dan mie instan. Baik di
perkotaan maupun di pedesaan lima terbesar komoditas makanan hampir sama, yang
membedakan adalah jika di perkotaan penduduk miskinnya mengkonsumsi daging ayam
ras, sedangkan di pedesaan pengeluaran terbesar keempatnya untuk roti.
Ada fenomena menarik yang layak
dicermati dari pengeluaran penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan di Banten
yaitu adanya pengeluaran untuk rokok filter yang menempati urutan kedua
terbesar dan pengeluaran untuk mie instan untuk posisi kelima. Meskipun rokok
bagi sebagian orang sudah seperti kebutuhan pokok, namun amat disayangkan bagi
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mengeluarkan uangnya untuk membeli
rokok, yang justru akan menurunkan kesehatan dan produktifitasnya.
Demikian
juga pengeluaran untuk mie instan yang tergolong junk food dan tidak memberikan gizi untuk tubuh. Seandainya
pengeluaran untuk rokok dan mie instan tersebut dialihkan untuk konsumsi
makanan lain yang mampu meningkatkan asupan gizi, tentu hal tersebut akan
meningkatkan kualitas kesehatan dan meningkatkan produktifitas dalam belajar bagi
anak-anak maupun dalam bekerja bagi orang dewasa. Sehingga pada akhirnya akan
mampu meningkatkan taraf hidup penduduk dan mengeluarkannya dari jeratan kemiskinan.
Melihat kenyataan di atas maka diperlukan adanya edukasi dan penyadaran bagi
penduduk miskin untuk bijak dalam membelanjakan penghasilannya, sehingga mereka
mampu membuat prioritas dalam pengeluaran dan dapat memilah mana saja yang
dibutuhkan dan bermanfaat bagi keluarganya.
Kemiskinan
merupakan permasalahan bersama yang harus dicari akar masalah dan solusinya.
Bagi Pemerintah Provinsi Banten yang sudah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan
di tingkat Provinsi, maka yang menjadi PR selanjutnya adalah bagaimana
menurunkan tingkat kemiskinan di daerah pedesaan. Bagaimana kesejahteraan
petani dan buruh tani di pedesaan meningkat. Karena merekalah tulang punggung
dari produksi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Banten. Hal ini
pula seharusnya menjadi perhatian bagi para calon kepala daerah yang akan maju
pada pemilihan Gubernur Banten pada tahun 2017 mendatang. Diperlukan program
dan kerja nyata yang mampu memberantas kemiskinan sehingga tercapai masyarakat
yang maju dan sejahtera.
Dimuat di harian Warta Banten, 25 Juli
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar