Kemiskinan adalah sebuah permasalahan sosial yang hampir selalu melekat sebagai atribut pada negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika program pemerintah di setiap periode pemerintahan selalu memprioritaskan program untuk mengurangi angka kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan seseorang secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk
miskin. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan
dengan 2100 kilo kalori perkapita perhari. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM)
adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) pada Bulan Maret 2016 jumlah penduduk miskin di Indonesia
mengalami penurunan dari 28,51 juta jiwa (11,13 persen) pada September 2015
menjadi 28,01 juta jiwa (10,86 persen) pada Bulan Maret 2016. Apabila dirinci
berdasarkan daerah, kemiskinan di perkotaan turun dari 8,22 persen menjadi 7,79
persen. Sedangkan untuk tingkat pedesaan jumlah penduduk miskinnya mengalami peningkatan
dari 14,09 peren menjadi 14,11 persen.
Hal
yang sama juga terjadi di Provinsi Banten, dimana secara umum kemiskinan di
Provinsi Banten mengalami penurunan dari 5,75 persen pada September 2015
menjadi 5,42 persen pada Maret 2016. Capaian ini merupakan hal yang
menggembirakan, karena pemerintah mampu menurunkan angka kemiskinan di Provinsi
Banten. Namun jika dicermati antara wilayah perkotaan dan pedesaan, penurunan
jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten hanya terjadi di wilayah perkotaan
saja, sedangkan di pedesaan jumlah penduduk miskinnya mengalami peningkatan. Jumlah
penduduk miskin di pedesaan pada bulan Maret 2016 sebanyak 7,45 persen atau meningkat
jika dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang berjumlah 7,12 persen.
Penyebab
meningkatnya tingkat kemiskinan di pedesaan adalah peningkatan upah riil buruh
tani yang tidak signifikan dari Rp. 32.570,- pada September 2015 menjadi Rp.
32.858,- pada Maret 2016. Upah riil menggambarkan tingkat daya beli dari
pendapatan yang diterima oleh buruh tani. Perubahan upah buruh ini sangat
berpengaruh karena di pedesaan masih banyak penduduk yang berprofesi sebagai
buruh tani. Peningkatan daya beli buruh tani yang tidak signifikan ini dikarenakan
harus mengimbangi tingkat kenaikan harga barang kebutuhan pokok di pedesaan.
Faktor yang kedua adalah penurunan
Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Maret 2016 dibandingkan dengan September
2016 yaitu dari 104,84 menjadi 104,74. Penurunan nilai tukar petani ini menunjukkan
penurunan tingkat kesejahteraan petani. Penurunan tingkat kesejahteraan petani
disebabkan oleh kenaikan harga barang kebutuhan konsumsi dan ongkos usaha
pertanian.
Selain kedua faktor diatas,
kenaikan jumlah penduduk miskin di pedesaan juga disebabkan oleh penurunan
harga gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG), dan harga gabah
kualitas rendah. Penurunan harga gabah ini berpengaruh terhadap pendapatan
petani, sedangkan di sisi yang lain harga-harga barang kebutuhan pokok mengalami
kenaikan.
Kenaikan
harga barang kebutuhan pokok di pedesaan salah satunya disebabkan oleh biaya
distribusi barang konsumsi. Apabila diamati, saat ini barang-barang yang
dikonsumsi oleh penduduk pedesaan hampir sama dengan daerah perkotaan. Mulai
dari makanan jadi, mie instan, telur ayam ras, perlengkapan mandi, perlengkapan
sekolah, rokok kretek filter, dan lain sebagainya didatangkan dari perkotaan.
Padahal barang-barang tersebut didistribusikan ke pedesaan dengan biaya angkut
yang lebih besar, sehingga mengakibatkan kenaikan harga barang di pedesaan
lebih tinggi daripada di perkotaan. Hal inilah yang memicu menurunnya tingkat
daya beli penduduk pedesaan dan menambah jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan.
Kemiskinan,
Rokok, dan Mie Instan
Masih
seperti periode sebelumnya, garis kemiskinan di perkotaan didominasi oleh
pengeluaran untuk komoditas makanan berupa beras, rokok kretek filter, telur
ayam ras, daging ayam ras, dan mie instan. Sedangkan untuk daerah pedesaan,
garis kemiskinan didominasi oleh beras, rokok kretek filter, telur ayam ras,
roti, dan mie instan. Baik di perkotaan maupun di pedesaan lima terbesar
komoditas makanan hampir sama, yang membedakan adalah jika di perkotaan
penduduk miskinnya mengkonsumsi daging ayam ras, sedangkan di pedesaan
pengeluaran terbesar keempatnya untuk roti.
Ada
fenomena menarik yang layak dicermati dari pengeluaran penduduk miskin di
perkotaan dan pedesaan di Banten yaitu adanya pengeluaran untuk rokok filter
yang menempati urutan kedua terbesar dan pengeluaran untuk mie instan untuk
posisi kelima. Bahkan bagi sebagian orang rokok sudah seperti kebutuhan pokok
harian. Hal ini sangat disayangkan, terlebih bagi penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan mengeluarkan uangnya untuk membeli rokok, yang justru akan
menurunkan kesehatan dan produktifitasnya.
Demikian juga pengeluaran untuk mie
instan yang tergolong junk food dan
tidak memberikan gizi untuk tubuh. Seandainya pengeluaran untuk rokok dan mie
instan tersebut dialihkan untuk konsumsi makanan lain yang mampu meningkatkan
asupan gizi, tentu hal tersebut akan meningkatkan kualitas kesehatan dan
meningkatkan produktifitas dalam belajar bagi anak-anak maupun dalam bekerja
bagi orang dewasa. Sehingga pada akhirnya akan mampu meningkatkan taraf hidup
penduduk dan mengeluarkannya dari
jeratan kemiskinan. Melihat kenyataan di atas maka diperlukan adanya edukasi
dan penyadaran bagi penduduk miskin untuk bijak dalam membelanjakan
penghasilannya, sehingga mereka mampu membuat prioritas dalam pengeluaran dan
dapat memilah mana saja yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi keluarganya.
Kemiskinan merupakan permasalahan
bersama yang harus dicari akar masalah dan solusinya. Bagi Pemerintah Provinsi Banten
yang sudah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di tingkat Provinsi, maka
yang menjadi PR selanjutnya adalah bagaimana menurunkan tingkat kemiskinan di
daerah pedesaan. Bagaimana kesejahteraan petani dan buruh tani di pedesaan
meningkat. Karena merekalah tulang punggung dari produksi pertanian untuk mencukupi
kebutuhan pangan di Banten. Hal ini pula seharusnya menjadi perhatian bagi para
calon kepala daerah yang akan maju pada pemilihan Gubernur Banten pada tahun
2017 mendatang. Diperlukan program dan kerja nyata yang mampu memberantas
kemiskinan sehingga tercapai masyarakat yang maju dan sejahtera.
Dimuat di harian Kabar Banten, 27 Juli
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar