Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat
ini tengah disibukkan oleh penyelesaian Rancangan Undang-Undang tentang
pengampunan pajak (tax amnesty). RUU
pengampunan pajak yang dijanjikan selesai sebelum libur panjang lebaran ini
merupakan isu panas yang menjadi polemik karena menimbulkan pro dan kontra bagi
banyak kalangan di masyarakat.
Tax amnesty adalah pengampunan pajak atau penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan
dana atau asetnya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar
pajak. Pengampunan ini disertai dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif
yang lebih rendah. Dengan dilakukannya tax amnesty ini, diharapkan para
pengusaha yang menyimpan dananya di luar negeri akan memindahkan dananya di
Indonesia dan menjadi wajib pajak baru yang patuh sehingga dapat meningkatkan
pendapatan negara dari sektor pajak.
Pembahasan tax amnesty yang
saat ini tengah dilakukan terfokus pada besaran tarif pajak yang akan dikenakan
dan juga sistem pelaksanaannya. Sedangkan DPR sendiri tidak keberatan dengan
besaran tarif sebesar dua persen untuk repatriasi (mengembalikan asset ke tanah
air) dan empat persen untuk deklarasi pajak.
Salah satu yang melatarbelakangi kebijakan tax amnesty ini adalah kebutuhan akan penambahan penerimaan negara
dari sektor pajak. Hal ini disebabkan penerimaan negara
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan/pengeluaran pemerintah. Bahkan hingga
31 Mei 2016 realisasi defisit anggaran telah mencapai 1,49 persen dari Produk
Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp189,1 triliun. Untuk menutupi defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, pemerintah telah melakukan
pengadaan pembiayaan Rp213,4 triliun yang berasal dari pembiayaan utang Rp. 211,2
triliun dan nonutang Rp. 2,1 triliun. Semakin lebar defisit anggaran, maka akan
semakin menambah beban hutang pemerintah. Untuk mengatasi hal tersebut
kebijakan tax amnesty ini dilakukan
guna menambah perolehan pajak sehingga akan memperkecil defisit anggaran
selanjutnya.
Penerimaan
pajak hingga 31 Mei 2016 baru mencapai Rp. 364,1 Triliun atau setara dengan
26,8 persen dari target Anggaran Penerimaan dan belanja Negara (APBN) 2016
sebesar Rp. 1.360,2 triliun. Meski kemudian menteri Keuangan merevisi target
penerimaan pajak 2016 menjadi Rp. 1.226,94 triliun.
Sektor
pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang masih mendominasi
pembiayaan pembangunan di Indonesia. Sumber
penerimaan pemerintah pusat terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan bukan
pajak. Penerimaan pajak terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan pajak
perdagangan internasional (bea masuk dan pajak ekspor). Sedangkan penerimaan
negara bukan pajak terdiri atas penerimaan sumber daya alam, laba BUMN, dan
penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) lainnya. Pada tahun 2015 penerimaan negara
sebesar Rp. 1.491,5 Triliun yang terdiri dari pajak sebesar Rp. 1,235,8 triliun
sedangkan dari penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp. 252,4 Triliun.
Besarnya
kontribusi pajak terhadap penerimaan negara ini memaksa pemerintah untuk mengoptimalkan
pendapatan yang bersumber dari pajak, terutama untuk wajib pajak yang tidak
patuh dan menyimpan harta serta asetnya di luar negeri. Menurut Menteri
Keuangan Bambang Brodjonegoro, potensi penerimaan pajak dari tax amnesty ini sebesar Rp. 60 triliun
dengan asumsi harta yang diajukan untuk memperoleh ampunan mencapai Rp. 3000
triliun dan tarif tebusan sebesar 2 persen. Ampunan pajak ini hanya dilakukan
sekali dengan tarif tebusan untuk semua asset atau harta yang dilaporkan. Untuk
selanjutnya wajib pajak yang bersangkutan akan dikenakan pajak sesuai tarif
normal sesuai dengan pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun.
Sedangkan
untuk jangka panjang, kebijakan tax
amnesty ini akan mendorong repatriasi atau pemulangan harta/asset warga
negara Indonesia di luar negeri yang menurut perkiraan mencapai lebih dari Rp.
4000 triliun. Dana tersebut berasal dari harta
pengusaha Indonesia atas aktifitas ekspornya, namun tidak dibawa pulang ke
dalam negeri. Repatriasi modal ini diperlukan untuk mendorong kinerja investasi
dan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Seperti diketahui bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2016 sebesar 4,92 persen atau
dibawah target pertumbuhan dari Bank Indonesia yang diperkirakan diatas 5 %. Dengan
meningkatnya investasi dari repatriasi modal ke Indonesia diharapkan mampu
mendorong kinerja perekonomian di Indonesia. Pembukaan usaha baru maupun
ekspansi usaha dari hasil investasi baru tersebut akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran, dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Sehingga secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekaligus meningkatkan pendapatan nasional Indonesia.
Meskipun kebijakan tax
amnesty ini memiliki manfaat jangka pendek maupun jangka panjang, namun hal
ini bukan berarti tidak menimbulkan polemik maupun pro kontra di masyarakat. Pendapat pro mengatakan bahwa
kebijakan tax amnesty bisa menjadi
solusi yang efektif untuk meningkatkan jumlah WP baru dan penerimaan pajak. Mengingat
lebih dari 82 persen pengeluaran maupun belanja negara bersumber dari sektor
pajak. Namun, terdapat kontra yang berargumen bahwa kebijakan tersebut
merupakan langkah putus asa dari pemerintah. Karena pemerintah tidak mampu
meningkatkan penerimaan diluar sektor pajak. Apalagi ditengah perlambatan
ekonomi global seperti saat ini, tentu bukan perkara yang mudah untuk
meningkatkan realisasi penerimaan pajak. Selain itu hal tersebut juga
menimbulkan kecemburuan dari wajib pajak yang selama ini taat pajak, karena
wajib pajak yang nakal justru memperoleh ampunan. Padahal ampunan ini hanya
diberikan hanya untuk asset atau harta yang selama ini tidak dilaporkan, namun
untuk selanjutnya wajib pajak harus membayar pajak sesuai dengan tarif normal.
Untuk menengahi hal tersebut di atas,
maka penerapan tax amnesty ini harus
dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas. Selain pemberian ampunan pajak
yang hanya dilakukan sekali waktu pelaporan, untuk selanjutnya harus diberikan
sangsi bagi wajib pajak yang tidak melakukan kewajibannya. Sehingga hal ini
menjadi solusi yang adil bagi wajib pajak lainnya sekaligus menjamin peningkatan
perolehan pajak untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Dimuat di harian Kabar Banten,29 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar