Halaman

Kamis, 30 Juni 2016

Tax Amnesty Dan Defisist Anggaran


Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini tengah disibukkan oleh penyelesaian Rancangan Undang-Undang tentang pengampunan pajak (tax amnesty). RUU pengampunan pajak yang dijanjikan selesai sebelum libur panjang lebaran ini merupakan isu panas yang menjadi polemik karena menimbulkan pro dan kontra bagi banyak kalangan di masyarakat.
Tax amnesty adalah pengampunan pajak atau penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan dana atau asetnya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak. Pengampunan ini disertai dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif yang  lebih rendah. Dengan dilakukannya tax amnesty ini, diharapkan para pengusaha yang menyimpan dananya di luar negeri akan memindahkan dananya di Indonesia dan menjadi wajib pajak baru yang patuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.
Pembahasan tax amnesty yang saat ini tengah dilakukan terfokus pada besaran tarif pajak yang akan dikenakan dan juga sistem pelaksanaannya. Sedangkan DPR sendiri tidak keberatan dengan besaran tarif sebesar dua persen untuk repatriasi (mengembalikan asset ke tanah air) dan empat persen untuk deklarasi pajak.
Salah satu yang melatarbelakangi kebijakan tax amnesty ini adalah kebutuhan akan penambahan penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini disebabkan penerimaan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan/pengeluaran pemerintah. Bahkan hingga 31 Mei 2016 realisasi defisit anggaran telah mencapai 1,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp189,1 triliun. Untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, pemerintah telah melakukan pengadaan pembiayaan Rp213,4 triliun yang berasal dari pembiayaan utang Rp. 211,2 triliun dan nonutang Rp. 2,1 triliun. Semakin lebar defisit anggaran, maka akan semakin menambah beban hutang pemerintah. Untuk mengatasi hal tersebut kebijakan tax amnesty ini dilakukan guna menambah perolehan pajak sehingga akan memperkecil defisit anggaran selanjutnya.
Penerimaan pajak hingga 31 Mei 2016 baru mencapai Rp. 364,1 Triliun atau setara dengan 26,8 persen dari target Anggaran Penerimaan dan belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp. 1.360,2 triliun. Meski kemudian menteri Keuangan merevisi target penerimaan pajak 2016 menjadi Rp. 1.226,94 triliun.
Sektor pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang masih mendominasi pembiayaan pembangunan di Indonesia. Sumber penerimaan pemerintah pusat terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan pajak terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional (bea masuk dan pajak ekspor). Sedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas penerimaan sumber daya alam, laba BUMN, dan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) lainnya. Pada tahun 2015 penerimaan negara sebesar Rp. 1.491,5 Triliun yang terdiri dari pajak sebesar Rp. 1,235,8 triliun sedangkan dari penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp. 252,4 Triliun.
Besarnya kontribusi pajak terhadap penerimaan negara ini memaksa pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan yang bersumber dari pajak, terutama untuk wajib pajak yang tidak patuh dan menyimpan harta serta asetnya di luar negeri. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, potensi penerimaan pajak dari tax amnesty ini sebesar Rp. 60 triliun dengan asumsi harta yang diajukan untuk memperoleh ampunan mencapai Rp. 3000 triliun dan tarif tebusan sebesar 2 persen. Ampunan pajak ini hanya dilakukan sekali dengan tarif tebusan untuk semua asset atau harta yang dilaporkan. Untuk selanjutnya wajib pajak yang bersangkutan akan dikenakan pajak sesuai tarif normal sesuai dengan pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun.
Sedangkan untuk jangka panjang, kebijakan tax amnesty ini akan mendorong repatriasi atau pemulangan harta/asset warga negara Indonesia di luar negeri yang menurut perkiraan mencapai lebih dari Rp. 4000 triliun. Dana tersebut berasal dari harta pengusaha Indonesia atas aktifitas ekspornya, namun tidak dibawa pulang ke dalam negeri. Repatriasi modal ini diperlukan untuk mendorong kinerja investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2016 sebesar 4,92 persen atau dibawah target pertumbuhan dari Bank Indonesia yang diperkirakan diatas 5 %. Dengan meningkatnya investasi dari repatriasi modal ke Indonesia diharapkan mampu mendorong kinerja perekonomian di Indonesia. Pembukaan usaha baru maupun ekspansi usaha dari hasil investasi baru tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Sehingga secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan pendapatan nasional Indonesia.
Meskipun kebijakan tax amnesty ini memiliki manfaat jangka pendek maupun jangka panjang, namun hal ini bukan berarti tidak menimbulkan polemik maupun pro kontra di masyarakat. Pendapat pro mengatakan bahwa kebijakan tax amnesty bisa menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan jumlah WP baru dan penerimaan pajak. Mengingat lebih dari 82 persen pengeluaran maupun belanja negara bersumber dari sektor pajak. Namun, terdapat kontra yang berargumen bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah putus asa dari pemerintah. Karena pemerintah tidak mampu meningkatkan penerimaan diluar sektor pajak. Apalagi ditengah perlambatan ekonomi global seperti saat ini, tentu bukan perkara yang mudah untuk meningkatkan realisasi penerimaan pajak. Selain itu hal tersebut juga menimbulkan kecemburuan dari wajib pajak yang selama ini taat pajak, karena wajib pajak yang nakal justru memperoleh ampunan. Padahal ampunan ini hanya diberikan hanya untuk asset atau harta yang selama ini tidak dilaporkan, namun untuk selanjutnya wajib pajak harus membayar pajak sesuai dengan tarif normal.

Untuk menengahi hal tersebut di atas, maka penerapan tax amnesty ini harus dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas. Selain pemberian ampunan pajak yang hanya dilakukan sekali waktu pelaporan, untuk selanjutnya harus diberikan sangsi bagi wajib pajak yang tidak melakukan kewajibannya. Sehingga hal ini menjadi solusi yang adil bagi wajib pajak lainnya sekaligus menjamin peningkatan perolehan pajak untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Dimuat di harian Kabar Banten,29 Juni 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...