Pada awal bulan Februari 2016 ini publik Indonesia
dikejutkan oleh berita tentang tutupnya pabrik dari perusahaan asal Jepang yaitu
Toshiba dan Panasonic. Tutupnya pabrik dari dua perusahaan raksasa ini disinyalir
sebagai akibat dari lemahnya daya saing produk yang dihasilkan oleh kedua
Perusahaan tersebut.
PT.Panasonic Gobel melakukan rasionalisasi pabrik
lighting yang berimbas pada ditutupnya salah satu pabrik Panasonic yang berada
di Cikarang, Bekasi. Buntut dari ditutupnya salah satu pabrik ini menurut
Rahmat Gobel akan ada pemutusan hubungan kerja karyawan (PHK) antara 1000-1500 orang.
Rasionalisasi ini sebagai imbas dari produk lighting Panasonic berupa bohlam yang
tidak mampu bersaing dengan produk lampu LED dari China maupun Korea selatan,
sehingga diperlukan restrukturisai guna beralih ke produk yang memilki daya
saing tinggi di pasar. Janjinya ketika proses restrukturisasi berjalan lancar
dan produksi kembali naik, maka akan ada penambahan jumlah karyawan kembali.
Sedangkan untuk perusahaan Toshiba, pabrik yang
tutup adalah untuk divisi kulkas dan mesin cuci. Dan untuk selanjutnya pabrik
tersebut akan dijual kepada perusahaan asal China. Seperti diketahui bahwa
persaingan dalam dunia usaha adalah suatu keniscayaan. Industri yang tidak
berinovasi atau bahkan lambat dalam melakukan perubahan, maka akan mengalami
kekalahan dalam persaingan bisnis yang pada akhirnya akan membuat industri
tersebut bangkrut dan gulung tikar. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana industri
manufaktur asal Jepang bersaing ketat dengan industri manufaktur asal Korea
Selatan. Setelah kebangkrutan Sony dan melejitnya Samsung, seakan ikut menyeret
produk-produk manufaktur Jepang lainnya dalam persaingan dengan produk asal
Korea Selatan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh dua
perusahaan tersebut akan semakin menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Padahal jumlah pengangguran pada Bulan Agustus 2015 yang dicatat oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) mencapai 6,18 persen. Dengan meningkatnya pengangguran
secara otomatis akan menurunkan daya beli masyakat. Penurunan daya beli ini
akan menurunkan permintaan terhadap barang dan jasa, sehingga secara tidak
langsung akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2015 perekonomian Indonesia tumbuh
sebesar 4,79 persen atau mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 yang tumbuh sebesar 5,02 persen. Ditengah
kondisi perekonomian global saat ini yang tidak menentu, anjloknya harga minyak
mentah dunia, penurunan harga komoditas dunia, hingga kondisi perekonomian
domestik yang diwarnai dengan tutupnya sejumlah perusahaan dan PHK yang marak,
maka hal tersebut semakin memperberat perekonomian Indonesia. Perekonomian
nasional yang kurang kondusif ini juga berdampak pada perekonomian regional,
tidak terkecuali Propinsi Banten.
Kondisi Perekonomian Banten
Pada hari Rabu, tanggal 10 Februari 2016 diberitakan
ada tiga perusahaan besar di Banten yang telah
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Hubungan Industri (PHI). Perusahaan tersebut
adalah Panasonic, Toshiba, dan Jabatek yang bergerak di sektor tekstil. Dari
tiga perusahaan tersebut ada sekitar 800 buruh yang dipastikan mendapat PHK. Perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut karena produksi semakin rendah, stabilisasi yang tidak baik,
dan persolaan perizinan. Sedangkan dari faktor eksternal adalah tidak stabilnya
nilai tukar rupiah, komponen konsumsi, komponen daya beli, dan tingkat
pendapatan masyarakat. Nilai tukar rupiah yang tidak stabil sangat berpengaruh
terhadap industri manufaktur di Banten, karena sebagian besar komponen bahan
baku diimpor dari luar negeri. Sedangkan perlambatan ekonomi global mengurangi
permintaan barang dari luar negeri, padahal karakteristik industri pengolahan
di Propinsi Banten sebagian besar berorientasi ekspor.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun
2015 pertumbuhan ekonomi Banten sebesar 5,37 persen atau mengalami perlambatan
jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 sebesar 5,47 persen.
sedangkan dilihat dari struktur perekonomiannya, perekonomian Banten didominasi
oleh tiga lapangan usaha utama yaitu : industri pengolahan (33,48 persen),
perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil-sepeda motor (12,08 persen) dan
transportasi dan pergudangan (10,22 persen). Dengan kontribusi sektor industri
pengolahan yang besar, maka segala kejadian yang menyangkut usaha industri
pengolahan akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian di Banten. Terlebih
dengan pailitnya beberapa perusahaan manufaktur tersebut akan secara langsung
mengurangi nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor industri pengolahan dalam
membentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Banten.
Dari aspek sosial, pailitnya sejumlah perusahaan
ini akan berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran yang ada di Propinsi Banten.
Jika pada bulan Agustus 2015 jumlah pengangguran di Banten mencapai 9,55
persen, maka sangat memungkinkan angka pengangguran ini akan meningkat pada
kondisi bulan Februari 2016. Dengan meningkatnya jumlah pengangguran maka akan
menurunkan daya beli masyarakat sehingga akan berpotensi menambah jumlah
penduduk miskin di Propinsi Banten. Sedangkan pada kondisi Bulan September 2015
jumlah penduduk miskin di Banten sebanyak 690,67 ribu orang atau 5,75 persen.
Untuk mengantisipasi dampak dari perlambatan
perekonomian dan bangkrutnya beberapa perusahaan besar tersebut, diperlukan
paket kebijakan ekonomi pemerintah yang mampu membuka lapangan usaha bagi
masyarakat Indonesia. Pembangunan yang sifatnya padat karya segera dilakukan di
awal tahun ini supaya dampak dari pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sedang
marak terjadi bisa diminimalisir sehingga tidak menurunkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar