Kemiskinan adalah sebuah permasalahan sosial yang hampir selalu
melekat sebagai atribut bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga
tidak mengherankan jika program pemerintah di setiap periode pemerintahan selalu
memprioritaskan program untuk mengurangi angka kemiskinan. Kemiskinan adalah
suatu kondisi ketidakmampuan seseorang secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran.
Penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan
dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan
yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori perkapita perhari. Garis Kemiskinan
Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
pendidikan dan kesehatan.
Pada tanggal 5 Januari 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Garis Kemiskinan
di Indonesia pada Bulan September tahun 2015 sebesar Rp.
344.809,-/kapita/bulan. Sedangkan untuk Propinsi Banten, pada Bulan September
2015 Garis Kemiskinannya sebesar Rp. 336.483,-/kapita/bulan yang terdiri dari GK
makanan Rp. 250.522,- dan GK non makanan sebesar Rp. 105.914,-. Hal ini berarti
bahwa penduduk di Banten yang pengeluaran per bulannya dibawah Rp. 336.484,-/
bulan akan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada kondisi
bulan September 2015 mencapai 28,51 juta jiwa (11,13 persen) atau mengalami
penurunan 0,08 juta orang jika dibandingkan dengan kondisi bulan Maret 2015
yang jumlahnya mencapai 28,59 juta jiwa (11,22 persen). Dari jumlah tersebut
jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih banyak jika dibandingkan dengan
penduduk miskin di perkotaan. Jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai 17,89
juta orang, sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaan mencapai 10,62 juta
orang. Penurunan angka kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain selama periode Maret 2015-September 2015 terjadi inflasi umum yang relatif
rendah yaitu tercatat 2,69 persen. Secara nasional rata-rata harga beras
mengalami penurunan sebesar 0,92 persen dari Rp. 13.089, per kg pada bulan
Maret 2015 menjadi Rp. 12.968,- per kg pada bulan September 2015. Selain itu, perekonomian
Indonesia triwulan III 2015 tumbuh sebesar 7,12 persen terhadap triwulan I 2015
dan perbaikan penghasilan petani yang ditunjukkan oleh kenaikan NTP (Nilai
Tukar Petani) sebesar 0,79 persen dari 101,53 pada Maret 2015 menjadi 102,33
pada September 2015.
Demikian juga yang terjadi di Propinsi Banten, jumlah penduduk
miskin di Banten mengalami penurunan dari 702,40 ribu orang (5,90 persen) pada Bulan
Maret 2015 menjadi 690,67 ribu orang (5,75 persen) pada Bulan September 2015. Berbeda
dengan kondisi nasional, jumlah penduduk miskin perkotaan di Banten mengalami
peningkatan sebesar 10,42 ribu orang dari bulan Maret 2015 hingga bulan September
2015. Sedangkan untuk penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan sebesar
22,16 ribu orang pada periode yang sama.
Konsumsi Rokok
Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar
dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan,
dan kesehatan). Pada bulan September 2015, sumbangan garis kemiskinan makanan
terhadap garis kemiskinan tercatat sebesar 70,29 persen. Sedangkan untuk
tingkat nasional sumbangan garis kemiskinan makanan sebesar 73,07 persen.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan baik di
perkotaan maupun pedesaan diantaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur
ayam ras, daging ayam ras, dan mie instan. Sedangkan untuk komoditi bukan
makanan diantaranya adalah biaya perumahan, bensin, listrik, dan pendidikan.
Hal yang sangat
mengejutkan adalah pengeluaran untuk rokok pada penduduk miskin berperan
sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap garis kemiskinan setelah beras.
Sumbangan rokok terhadap garis kemiskinan sebesar 11,78 persen untuk daerah perkotaan
dan 8,73 persen untuk daerah pedesaan. Angka ini jauh diatas pengeluaran
penduduk miskin untuk konsumsi telur ayam ras yang hanya menyumbang 3,32 persen
garis kemiskinan. Selain itu baik di perkotaan maupun di pedesaan, penduduk
miskin mengkonsumsi mie instan yang sumbangannya terhadap garis kemiskinan
sebesar 3,01 peren di perkotaan dan 2,81 persen di pedesaan.
Dalam kesempatan
ini tidak akan kita bahas tentang hukum rokok, karena hal tersebut akan menimbulkan
pro kontra yang tidak akan pernah selesai. Namun bagaimana agar pengeluaran
untuk rokok pada penduduk miskin tersebut dialihkan untuk memenuhi kebutuhan
makanan yang bergizi seperti tahu, tempe, telur, maupun sumber protein lainnya.
Maka hal tersebut akan jauh lebih bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan
keluarga, mengurangi kasus gizi buruk pada anak-anak, dan pada akhirnya akan
meningkatkan produktifitas penduduk. Demikian juga pengeluaran untuk mie
instan, akan sangat berguna jika dialihkan untuk pengeluaran yang bisa
meningkatkan taraf kesehatan maupun pendidikan, sehingga penduduk miskin akan
memiliki peluang lebih besar dalam memperoleh penghasilan sehingga akan
terbebas dari jeratan kemiskinan.
Prioritas Pengeluaran
Jika penduduk miskin memberikan porsi yang besar untuk pengeluaran
rokok, maka bagaimana dengan penduduk
tidak miskin dan kelas menengah di Indonesia? Untuk penduduk yang mampu,
proporsi pengeluaran untuk makanan akan semakin kecil jika dibandingkan dengan
proporsi pengeluaran untuk non makanan. Bagi kelas menengah Indonesia yang
sudah tercukupi kebutuhan pangan, sandang, dan papan dasar, mereka masih memiliki
uang sisa yang cukup besar. Dengan sisa uang yang memadai mereka memiliki
keluasaan untuk memenuhi kebutuhan diluar kebutuhan dasar seperti kendaraan,
elektronik, gadget, liburan, atau sekedar makan sekeluarga di restoran. Adanya
uang sisa ini selain memberikan keluasaan, namun juga mendorong gaya hidup yang
konsumtif. Celakanya, budaya konsumtif ini difasilitasi oleh beragam fasilitas
kredit konsumsi dari bank maupun lembaga pembiayaan. Kondisi inilah yang pelan
tapi pasti membentuk budaya menghutang di kalangan keluarga mampu. Akibatnya
tidak jarang terjadi ketika beragam keinginan tadi terbebaskan dan memaksakan
kebutuhan yang sebenarnya tidak terjangkau, maka yang akan terjadi adalah
bahaya kebangkrutan. Berapapun penghasilan yang diterima, akan selalu merasa
kekurangan karena pendapatan yang diperoleh akan habis digunakan untuk membayar
aneka cicilan hutang.
Jadi prioritas pengeluaran sangat diperlukan baik bagi penduduk
miskin maupun penduduk tidak miskin. Bagi penduduk miskin, penghasilan yang
diperoleh diprioritaskan untuk mencukupi kebutuhan dasar, yang mampu
meningkatkan taraf hidupnya baik dari segi kesehatan maupun pendidikan,
sehingga akan mengeluarkannya dari lingkaran kemsikinan. Sedangkan bagi
penduduk tidak miskin, prioritas pengeluaran diperlukan supaya tidak terjebak
oleh perilaku konsumtif yang mengakibatkan besar pasak dari pada tiang. Sehingga
kelas menengah di Indonesia bukanlah kelas menengah rapuh, yang berperilaku konsumtif
dan hobi menghutang, namun kelas menengah yang produktif yang mampu memberikan
nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.
Dimuat di harian Radar Banten, 19 januari
2016 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar