Dimuat di harian Banten Pos, Desember 2015
Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak “aanpakken” soal
makanan rakyat ini secara besar-besaran secara radikal dan revolusional,
kita akan mengalami malapetaka.
Buat apa kita Bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak
bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari
bangsa-bangsa tetangga!
(Ir. SOEKARNO)
Kutipan pidato presiden pertama RI yang disampaikan pada peletakan
batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kelak menjadi
Institut Pertanian Bogor ini telah menggambarkaan betapa pentingnya kedaulatan
pangan bagi suatu bangsa. Isu pangan merupakan tema yang selalu menarik untuk
didiskusikan maupun diperdebatkan. Bahkan data pangan bisa menjadi alat politik
untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan maupun dalam evaluasi
kebijakan. Selain itu, pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk
hidup. Jika dalam beberapa dekade terakhir ketersediaan energi merupakan salah
satu faktor pemicu konflik di dunia, maka tidak mengherankan jika pada masa
yang akan datang masalah pangan bisa turut andil dalam memicu pertikaian antar
bangsa
Sebuah contoh yang apik diungkapkan oleh Muhaimin iqbal dalam
tulisannya berjudul Huru Hara Tortilla. Muhaimin bercerita tentang kerusuhan
yang terjadi di Mexico pada 2006 / 2007 yang dikenal dengan sebutan “Tortilla
Riots”. Rakyat Mexico yang sebelumnya secara tradisonal bercocok tanam jagung
yang merupakan bahan untuk membuat bahan
pangan pokok tortilla berubah menjadi importir. Hal tersebut karena adanya
NAFTA (North American Free Trade Agreement/Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika
Utara) menjadikan Mexico kalah bersaing dengan Amerika Serikat dan Kanada.
Akibatnya petani Mexico malas menanam jagung. Saat jagung sulit didapatkan
bahkan di negeri lain, meledaklah kerusuhan akibat melonjaknya harga jagung
yang tak terjangkau oleh penduduk.
Potensi kejadian serupa sangat mungkin terjadi di Indonesia jika
kita salah dalam mengambil kebijakan, terutama dalam hal ketersediaan pangan. Dan
jika berbicara masalah ketersediaan pangan, maka akan menggiring kita pada
produksi beras nasional. Hal ini tidak terlepas bahwa beras merupakan makanan
pokok penduduk di Indonesia. Polemik data beras dalam beberapa waktu terakhir
mencuat setelah adanya kebijakan impor beras dari luar negeri, saat produksi
beras nasional diklaim mengalami surplus. Hal ini sebenarnya berpangkal dari
ketiadaan data yang akurat mengenai stok beras terkini. Sedangkan parameter
yang digunakan untuk menghitung stok beras nasional saat ini hanya berasal dari
stok beras yang berada di pemerintah dalam hal ini Perum Bulog. Padahal
dibutuhkan parameter lain seperti produksi beras nasional, konsumsi beras, dan
stok beras yang berada di bulog maupun di masyarakat.
Untuk
produksi beras nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Angka Ramalan II
(ARAM) produksi padi pada tahun 2015 sebesar 74,99 juta ton gabah kering giling
atau setara dengan 43 juta ton beras. Dengan melihat konsumsi beras nasional
yang jumlahnya sekitar 30 juta ton per tahun, maka diperkirakan produksi beras
nasional akan mengalami surplus. Namun capaian yang membahagiakan ini juga
diwarnai oleh keraguan dari beberapa pihak. Keraguan ini tidak terlepas dari
fenomena El Nino pada tahun ini yang mengakibatkan kekeringan di sejumlah
daerah sehingga menimbulkan gagal panen. Menjawab keraguan tersebut, dijelaskan
bahwa capaian produksi padi tahun ini merupakan hasil dari program Upaya Khusus
(upsus) kementrian pertanian dengan penyediaan bantuan benih, pupuk, penyediaan
sarana seperti pompa air dan percepatan musim tanam. Sehingga produksi padi
bisa dioptimalkan hingga musim tanam (subround)
II (Januari-Agustus) dan dampak kekeringan dapat diminimalisir dengan program
percepatan tanam dan pompanisasi pada lahan irigasi.
Angka ramalan produksi padi di Indonesia merupakan hasil kerjasama dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota di daerah. Untuk angka produksi diperoleh dari perkalian luas panen dan produktifitas padi. Luas panen berasal dari laporan luas panen dari Kepala Cabang Dinas
(KCD), sedangkan produktifitas diperoleh dari hasil survei ubinan BPS. Survei ubinan ini dilakukan sepanjang tahun yang terbagi dalam tiga subround. Tentu tidak dipungkiri bahwa metode tersebut masih terdapat kekurangan dalam hal akurasi data,
terutama pada penghitungan luas panen yang mengandalkan eye
estimate (pengamatan mata). Namun untuk saat ini, metode inilah yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang paling mendekati kenyataan di lapangan.Usaha perbaikan metode pun dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini BPS tengah melakukan survei luas panen dan luas lahan
yang menggunakan Global Positioning System (GPS). Tujuan survei ini adalah untuk menghitung diskrepansi/selisih penghitungan antara eye estimate (pengakuan petani) dan hasil pengukuran lahan dengan menggunakan GPS. Sehingga diharapkan data luas panen dan luas tanam yang
dilaporkan dari Dinas Pertanian merupakan data yang sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sedangkan untuk menjawab
pertanyaan publik tentang keberadaan beras yang diperkirakan surplus tersebut, BPS
saat ini tengah melakukan survei kajian cadangan beras nasional yang bertujuan
untuk menghitung stok beras di masyarakat yang meliputi rumah tangga petani,
rumah tangga konsumen, pedagang/tengkulak, usaha penggilingan padi, hotel, dan
restoran. Sehingga stok beras nasional tidak hanya berpatokan pada beras yang
berada di Bulog saja namun juga memperhitungkan jumlah stok beras yang berada
di masyarakat. Jangan sampai kelangkaan stok beras di pasaran bukan karena
produksi beras yang tidak mencukupi, namun karena permainan pedagang/tengkulak
dalam menguasai stok beras guna memperoleh keuntungan yang besar. Apalagi para
pedagang dan tengkulak ini dinilai lebih cepat dalam membeli gabah
petani dengan rela menunggu dan
menjemput gabah petani hingga ke pematang sawah.
Berbagai perbaikan metode
penghitungan diatas diharapkan mampu memperbaiki data beras nasional. Sehingga
data beras yang disajikan baik itu produksi beras maupun stok beras nasional
merupakan data yang akurat, yang menggambarkan kondisi sebenarnya. Harapannya
data tersebut menjadi dasar yang kuat dalam pengambilan kebijakan dan
perencanaan pembanguan menuju ketahanan pangan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar