Dimuat di Opini Radar Banten, 3 November 2015
Dalam dua bulan
terakhir, berita tentang kabut asap mewarnai hampir semua media di Indonesia.
Bahkan kabut asap ini telah ter-ekspor
ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina sehingga membuat
hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga menjadi terganggu.
Kabut asap yang terjadi setiap tahun seolah menjadi agenda tahunan bencana yang
melanda Indonesia. Bahkan bencana kabut asap yang terjadi pada tahun 2015 lebih
parah jika dibandingkan dengan kabut asap pada tahun-tahun sebelumnya.
Banyak yang
beranggapan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Inodnesia disebabkan oleh
kemarau yang panjang. Padahal penyebab utama kabut asap di Indonesia adalah
karena adanya pembakaran lahan di sejumlah wilayah di Indonesia seperti di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Papua. Hal ini dikarenakan
pembakaran lahan merupakan salah satu cara yang mudah dan murah dalam membuka
lahan baru. Pembakaran hutan secara massal menyebabkan kabut asap yang sangat
merugikan bagi kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kerusakan lingkungan yang
pada akhirnya akan mengurangi keanekaragaman hayati.
Dalam bidang
kesehatan, kabut asap memberikan dampak yang sangat buruk bagi masyarakat. Menurut
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, menyebutkan bahwa ada beberapa
macam gangguan kesehatan yang dapat terjadi akibat terpapar kabut asap, yaitu,
iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, reaksi alergi, peradangan dan juga
infeksi. Mereka yang berusia lanjut dan anak-anak, juga mereka yang punya
penyakit kronik dengan daya tahan tubuh rendah akan lebih rentan mendapat
gangguan kesehatan. Apalagi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang
tercatat di beberapa propinsi yang terdampak kabut asap seperti Riau, Jambi, Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah menunjukkan pada level yang berbahaya bagi
kesehatan manusia. Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi
aktifitas masyarakat di luar rumah dan menggunakan masker untuk mengurangi
masuknya zat zat berbahaya ke dalam saluran pernafasan.
Dalam bidang
pendidikan, sudah lebih dari satu bulan sekolah-sekolah di kota yang terdampak
bencana asap meliburkan siswanya untuk belajar di rumah. Langkah ini diambil
untuk meminimalisir paparan asap terhadap siswa sekolah. Konsekuensi dari
peliburan tersebut adalah tertinggalnya capaian pelajaran bagi para siswa
terutama yang akan mengikuti Ujian nasional pada tahun depan. Hal ini memerlukan
kebijakan khusus dari pemerintah pusat, apakah dengan mengundurkan jadwal UN
atau menyiapkan soal ujian khusus untuk siswa di daerah terdampak bencana asap.
Demikian juga
dalam bidang ekonomi, bencana kabut asap ini menimbulkan kerugian pada bidang
ekonomi yang tidak sedikit. Dengan adanya kabut asap ini aktifitas ekonomi
masyarakat dan dunia usaha akan terganggu yang pada akhirnya akan menurunkan
daya beli masyarakat dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi beberapa propinsi di
Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Padahal pertumbuhan ekonomi ini sangat
diperlukan guna mengurangi angka kemiskinan dan angka pengangguran yang masih
menjadi permasalahan di Indonesia.
Sektor ekonomi yang akan terkena dampak langsung
dari kabut asap ini adalah sektor transportasi dan sektor pertanian. Pada sektor
transportasi, kabut asap akan membuat terbatasnya jarak pandang sehingga
mengganggu lalu lintas angkutan, baik angkutan darat, laut, maupun udara.
Dengan banyaknya lalu lintas yang tertunda atau bahkan terhenti maka akan
mengurangi jumlah penumpang maupun barang yang diangkut. Akibatnya akan terjadi
penurunan jumlah penumpang yang pada akhirnya akan menurunkan laju pertumbuhan
ekonomi pada sektor transportasi. Sedangkan pada sektor pertanian, kabut asap
akan mengganggu proses penanaman dan pertumbuhan tanaman, sehingga resiko gagal
panen semakin besar. Pada Propinsi yang perekonomiannya didominasi oleh sektor
pertanian seperti Propinsi Jambi dan Kalimantan Tengah, bencana kabut asap ini
akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Karena sektor pertanian menyumbang 27,81
persen terhadap pembentukan perekonomian di Propinsi Jambi dan menyumbang 23,50
persen dalam pembentukan perekonomian di Propinsi Kalimantan Tengah.
Dampak tidak
langsung dari kabut asap ini akan terjadi pada sektor perdagangan. Dengan transportasi yang terganggu maka akan
menghambat distribusi barang antar propinsi, bahkan antar negara pada kegiatan
ekspor impor barang. Kegiatan Ekspor yang dilakukan oleh Propinsi Riau melalui
Pelabuhan Dumai secara langsung akan terganggu sehingga secara otomatis akan
menurunkan ekspor Indonesia pada beberapa bulan terakhir ini.
Terhambatnya
distribusi barang yang masuk ke wilayah terdampak asap juga akan menyebabkan
kelangkaan barang kebutuhan pokok masyarakat dan menyebabkan naiknya harga
barang di daerah tersebut. Apalagi di daerah yang hanya bisa dijangkau oleh
transportasi laut dan udara, seperti Timika dan Merauke di bagian selatan
Propinsi Papua. Kelangkaan barang kebutuhan pokok dan kenaikan harga barang
yang tidak wajar sangat mungkin terjadi karena hampir semua kebutuhan pokok
masyarakat dipasok dari luar Papua melalui angkutan laut dan udara.
Hal yang sama
akan terjadi pada sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertambangan, industri
pengolahan, hotel, dan restoran. Karena dengan adanya kabut asap tersebut
membuat produktifitas masyarakat terganggu yang pada akhirnya akan mengurangi
atau bahkan menghentikan sementara proses kegiatan ekonomi. Propinsi Riau yang
perekonomiannya 33,59 persen ditopang oleh sektor pertambangan dan industry manufaktur
sebesar 19,63 persen, secara tidak langsung juga akan terpengaruh. Dengan
berkurangnya produktifitas tenaga kerja, maka secara otomatis akan menurunkan
produksi sehingga akan mengurangi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang
pada akhirnya akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. Besarnya penurunan laju
pertumbuhan ekonomi akan terlihat pada laporan PDRB triwulan tiga tahun 2015.
Hal yang sama juga akan terjadi pada propinsi lain seperti Sumatera Selatan
yang perekonomiannya ditopang oleh sektor pertambangan sebesar 23,97 persen dan
sektor pertanian sebesar 17,81 persen.
Dengan
banyaknya kerugian yang timbul akibat
pembakaran hutan secara massal tersebut, hendaknya menjadi perhatian
bagi semua pihak agar lebih bijak dalam melakukan kegiatan ekonomi. Pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan hendaknya memperhatikan aspek lingkungan, sehingga
dampaknya tidak merugikan bagi manusia sebagai subyek dan obyek pembangunan itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar