Halaman

Rabu, 11 November 2015

Mewaspadai Pelemahan Rupiah


Nilai tukar rupiah melemah pada level Rp. 14.076,- pada hari Senin, Tanggal 14 Desember 2015 setelah pada hari Jumat pekan sebelumnya berada pada level Rp. 13.937,- per USD. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ini ditengarai karena pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bank sentral Amerika Serikat atau The Fed yang akan berlangsung pada 15-16 Desember waktu setempat. FOMC diperkirakan akan memutuskan kenaikan tingkat suku bunga acuan The Fed.

Wacana kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed ini sudah direncanakan dari tahun lalu, namun ketidakpastian tentang kapan rencana tersebut direalisasi menyebabkan labilitas pada pasar keuangan global tidak terkecuali Indonesia. Dalam kondisi ketidakpastian tersebut para investor asing akan menahan modalnya untuk diinvestasikan ke Indonesia, sehingga aksi ini menimbulkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini dikarenakan rupiah termasuk soft currency, yaitu mata uang yang mudah berfluktuasi ataupun terdepresiasi, karena perekonomian negara asalnya kurang mapan. Mata uang Negara-negara berkembang umumnya adalah mata uang tipe ini, karena sensivitasnya terhadap kondisi ekonomi internasional. Penyebabnya karena porsi asing pada portofolio investasi saham dan surat utang di Negara berkembang sangat besar. Jadi ketika The Fed merealisasikan kenaikan suku bunga acuan tersebut kemungkinan besar para investor asing di negara berkembang akan memindahkan modalnya ke Amerika Serikat.
Selain karena faktor eksternal tersebut, pelemahan rupiah juga diperkirakan karena pelaku pasar uang dalam negeri tengah menanti dirilisnya data neraca perdangan Indonesia pada bulan November 2015 oleh Badan Pusat Statistik. Meskipun diperkirakan neraca perdangan pada bulan November juga akan mengalami surplus seperti halnya pada bulan Oktober dimana nilai ekspor lebih besar daripada nilai Impor. Namun hal tersebut belum mampu memberikan kepercayaan bagi pemilik modal asing untuk menginvestasikan dolar nya ke Indonesia.
Di sisi lain, penurunan harga komoditas dunia juga masih masih membayangi tinjauan/outlook ekonomi Indonesia, yang mana Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia dan eksportir batu bara. Dengan menurunnya harga komoditas dunia tersebut mengakibatkan nilai ekspor Indonesia akan mengalami penurunan meskipun secara kuantitas sama. Sehingga diperlukan peningkatan volume ekspor yang lebih besar guna menghindari defisit neraca perdagangan Indonesia.
Melemahnya rupiah ini harus diwaspadai karena dengan nilai tukar mencapai Rp. 14.000 per Dolar AS, maka kondisi tersebut berada pada kondisi yang tidak fundamental. Karena menurut deputi Gubernur Bank Indonesia posisi fundamental nilai tukar rupiah berada pada level Rp.13.300-Rp.13.700,-. Merujuk pada bulan September dan Oktober 2015, dimana nilai tukar rupiah mengalami pelemahan hingga mencapai Rp. 14.713,- per dolar AS, Bank Indonesia harus mencairkan cadangan devisa negara hingga 4,4 Miliar dolar AS untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Tentu kondisi seperti ini tidak kita harapkan terjadi pada masa sekarang dan yang akan datang.
Kemerosotan nilai tukar rupiah juga sangat berdampak pada ekspor dan impor Indonesia. Harga barang impor akan meningkat karena nilai mata uang rupiah melorot dibanding dolar AS dan berbagai mata uang lainnya. Padahal, sebagian besar dari barang yang diimpor oleh Indonesia adalah barang modal, termasuk bahan baku, mesin pertanian, dan mesin-mesin untuk produksi manufaktur. Dengan meningkatnya harga barang modal tersebut akan meningkatkan biaya produksi perusahaan dan mempersulit ekspansi usaha. Disisi lain, perusahaan juga harus membayar biaya produksi lainnya, seperti bunga pinjaman bank dan upah karyawan. Jika biaya produksi naik, maka alternatif yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah menaikkan harga barang hasil produksi dan mengurangi biaya faktor produksi.
Selain itu juga pada tahun 2015, dunia tengah dilanda perlambatan ekonomi secara global terutama di negara-negara tujuan ekspor seperti Jepang, China, dan Zona Euro. Sehingga hal ini mengakibatkan penurunan permintaan barang produksi Indonesia dari luar negeri. Sementara itu permintaan domestik juga mengalami penurunan karena harga berbagai jenis barang dan jasa meningkat disamping juga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada Triwulan III tahun 2015, Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,73 persen atau sedikit melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun 2014 yang pertumbuhannya sebesar 4,92 persen. Dengan kondisi demikian maka pengurangan jumlah tenaga kerja menjadi suatu yang tidak dapat dihindari oleh perusahaan demi keberlangsungan usaha. Pengurangan jumlah tenaga kerja ini akan semakin meningkatkan angka pengangguran di Indonesia.
Badan Pusat Statistik mencatat sampai dengan bulan Agustus 2015, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 6,18 persen. Atau mengalami peningkatan dibanding kondisi Bulan Februari 2015 yang nilainya sebesar 5,81 persen. Peningkatan jumlah pengangguran ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari pelemahan nilai tukar rupiah. Meningkatnya jumlah pengangguran dan meningkatnya harga barang kebutuhan pokok, mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kemiskinan di masyarakat.
Perlu upaya yang keras dari pemerintah dan masyarakat untuk bisa keluar dari permasalahan tersebut. Agar rupiah tidak kembali melemah, perlu upaya dari pemerintah dan BI dengan meningkatkan kinerja ekspor dan mencegah terjadinya pelarian modal asing, dimulai dengan meningkatkan efisiensi BUMN dan memperbaiki iklim usaha supaya investor betah menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, penggiatan program pembangunan infrastruktur bisa menjadi salah satu opsi untuk menyerap tenaga kerja. Karena dengan membuka lapangan  pekerjaan akan mampu meningkatkan daya beli masyarakat sehingga akan kembali menggerakkan roda perekonomian. Dari sisi masyarakat, upaya-upaya untuk menggiatkan usaha kecil menengah berbasis kearifan lokal maupun teknologi bisa diberdayakan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Harapannya setelah 70 tahun bangsa Indonesia merdeka, kita berdaulat tidak hanya secara politik namun juga berdaulat secara ekonomi. Sebuah negara berdaulat yang percaya akan kekuatan sendiri dalam mengatur kebijakan ekonomi dalam negeri tanpa tergantung dan terpengaruh oleh pihak luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#139 Kemiskinan Dalam Tekanan Inflasi

Tren penurunan jumlah penduduk miskin pasca pandemi sedikit terganggu dengan lonjakan inflasi yang terjadi pada akhir tahun 2022. Hal ini di...