Isu
pangan merupakan tema yang selalu menarik untuk didiskusikan maupun
diperdebatkan. Bahkan data pangan bisa menjadi alat politik untuk mengukur
tingkat keberhasilan pembangunan maupun dalam evaluasi kebijakan. Selain itu, pangan
merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk hidup. Jika dalam beberapa
dekade terakhir ketersediaan energi merupakan salah satu faktor pemicu konflik
di dunia, maka tidak mengherankan jika pada masa yang akan datang masalah
pangan bisa turut andil dalam memicu pertikaian antar bangsa.
Berbicara
masalah ketersediaan pangan akan menggiring kita pada produksi beras nasional.
Hal ini tidak terlepas bahwa beras merupakan makanan pokok penduduk di
Indonesia. Dalam beberapa pekan terakhir, media di Indonesia dihiasi oleh
pemberitaan tentang produksi beras nasional yang diklaim surplus dan rencana
pemerintah untuk melakukan impor beras dari luar negeri. Polemik yang terjadi
pada data beras di Indonesia berpangkal dari ketiadaan data yang akurat
mengenai stok beras terkini. Sedangkan parameter yang digunakan untuk
menghitung stok beras nasional saat ini hanya berasal dari stok beras yang berada
di pemerintah dalam hal ini Perum Bulog. Padahal dibutuhkan parameter lain guna
menghitung stok beras nasional secara akurat. Parameter tersebut antara lain,
produksi beras nasional, konsumsi beras, dan stok beras yang berada di bulog
maupun di masyarakat. Stok beras yang ada di masyarakat meliputi stok beras
yang ada di rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen padi,
pedagang/tengkulak, industri penggilingan, hotel, dan restoran.
Untuk
produksi beras nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Angka Ramalan II
(ARAM) produksi padi pada tahun 2015 sebesar 74,99 juta ton gabah kering giling
atau setara dengan 43 juta ton beras. Dengan melihat konsumsi beras nasional
yang jumlahnya sekitar 30 juta ton per tahun, maka diperkirakan produksi beras
nasional akan mengalami surplus. Namun capaian yang membahagiakan ini juga
diwarnai oleh keraguan dari beberapa pihak, tidak terkecuali Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Keraguan ini tidak terlepas dari fenomena El Nino pada tahun ini
yang mengakibatkan kekeringan di sejumlah daerah sehingga menimbulkan gagal
panen. Menjawab keraguan tersebut, dijelaskan bahwa capaian produksi padi tahun
ini merupakan hasil dari program Upaya Khusus (upsus) kementrian pertanian
dengan penyediaan bantuan benih, pupuk, penyediaan sarana seperti pompa air dan
percepatan musim tanam. Sehingga produksi padi bisa dioptimalkan hingga musim
tanam (subround) II (Januari-Agustus)
dan dampak kekeringan dapat diminimalisir dengan program percepatan tanam dan
pompanisasi pada lahan irigasi. Namun keraguan dari Wapres Jusuf Kalla tersebut
juga didukung oleh data stok beras yang berada di Bulog. Menurut Dirut Perum Bulog,
stok beras yang tersisa di Bulog hingga akhir Oktober tinggal 1,485 juta
ton dan dari jumlah itu, cadangan beras pemerintah hanya sekitar 810 ribu ton.
Dengan
pertimbangan tersebut dan sebagai langkah antisipasi untuk menjaga stok beras
nasional, maka pemerintah memutuskan untuk mengimpor beras 1 juta ton dari luar
negeri. Langkah ini menuai kritik dari banyak kalangan karena pada saat produksi beras nasional dinilai cukup
bahkan diperkirakan surplus namun pemerintah membuka keran impor beras dari
luar negeri. Langkah impor ini dikuatirkan akan mengurangi serapan beras dari
petani dan akan menurunkan harga gabah di tingkat petani. Karena harga gabah di
tingkat petani sekarang ini dinilai cukup meningkatkan kesejahteraan petani.
Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan September 2015 yang
nilainya sebesar 102,46. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat
tingkat kesejahteraan petani. Dengan NTP diatas 100 maka petani mengalami
surplus atau kenaikan harga produksi pertanian lebih besar daripada kenaikan
harga barang konsumsi. Dengan melihat kenyataan ini, sangat diharapkan
pemerintah mengurungkan niatnya untuk melakukan impor beras dengan dasar ARAM
II bahwa produksi padi tahun 2015 mencukupi kebutuhan beras nasional.
Data ARAM produksi padi sangat
penting karena terkait dengan ketersediaan beras pada tahun tersebut dan
menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam hal penyediaan pangan nasional. Ditengah
ketidakpercayaan publik terhadap data ramalan produksi padi tersebut, beberapa
upaya dilakukan oleh BPS guna memperbaiki metode penghitungan produksi padi dan
cadangan beras nasional.
Angka ramalan produksi padi di Indonesia merupakan hasil kerjasama dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota di daerah. Angka ramalan II dihitung berdasarkan dari realisasi produksi padi sampai dengan subround II (Januari-Agustus) dan luas tanam akhir pada bulan Agustus. Untuk angka produksi diperoleh dari perkalian luas panen dan produktifitas padi. Luas panen berasal dari laporan luas panen dari Kepala Cabang Dinas
(KCD), sedangkan produktifitas diperoleh dari hasil survei ubinan BPS. Survei ubinan ini dilakukan sepanjang tahun yang terbagi dalam tiga subround. Tentu tidak dipungkiri bahwa metode tersebut masih terdapat kekurangan, terutama pada penghitungan luas panen
yang mengandalkan eye estimate (pengamatan mata). Tingkat Akurasi dari eye estimate ini berbeda-beda tiap orang, sehingga akan menghasilkan angka yang berbeda pula. Namun untuk saat ini, metode inilah yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang paling mendekati kenyataan di lapangan.Usaha perbaikan metode pun dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini BPS, dengan melakukan survei luas panen dan luas lahanyang menggunakan Global Positioning System(GPS). Tujuan survei ini adalah untuk menghitung diskrepansi/selisih penghitungan antara eye estimate (pengakuan petani) dan hasil pengukuran lahan dengan menggunakan GPS. Sehingga diharapkan data luas panen dan luas tanam yang
dilaporkan dari Dinas Pertanian merupakan data yang sesuai dengan kondisi di
lapangan.
Sedangkan untuk menjawab
pertanyaan publik tentang keberadaan beras yang diperkirakan surplus tersebut, BPS
saat ini tengah melakukan survei kajian cadangan beras nasional. Survei ini dilakukan dalam satu tahun
yang terbagi dalam tiga putaran. Tujuan dari survei ini adalah untuk menghitung stok beras di masyarakat yang meliputi rumah tangga
petani, rumah tangga konsumen, pedagang/tengkulak, usaha penggilingan padi, hotel, dan restoran. Sehingga stok beras nasional tidak hanya berpatokan pada beras yang berada
di Bulog saja namun juga memperhitungkan jumlah stok beras yang berada di
masyarakat. Jangan sampai kelangkaan stok beras di pasaran bukan karena
produksi beras yang tidak mencukupi, namun karena permainan pedagang/tengkulak
dalam menguasai stok beras guna memperoleh keuntungan yang besar. Apalagi para
pedagang dan tengkulak ini dinilai lebih cepat dalam membeli gabah
petani. Hal ini dibuktikan dengan kerelaan
mereka untuk menunggu dan menjemput gabah petani hingga sampai di pematang
sawah.
Berbagai perbaikan metode
penghitungan diatas diharapkan mampu memperbaiki data beras nasional. Sehingga
data beras yang disajikan baik itu produksi beras maupun stok beras nasional
merupakan data yang akurat, yang menggambarkan kondisi sebenarnya. Harapannya
data tersebut menjadi dasar yang kuat dalam pengambilan kebijakan dan
perencanaan pembanguan. Yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan bagi
rakyat berupa harga beras yang terjangkau dan kesejahteraan petani yang
meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar