Halaman

Jumat, 23 Oktober 2015

BUKAN SWASEMBADA BERAS SEMU


Dimuat di harian Radar Banten, 22 Oktober 2015


Setiap tanggal 16 Oktober, 150 negara di dunia yang tergabung dalam FAO (Food and Agriculture Organization) selalu memperingati sebagai hari pangan sedunia. Begitu besar perhatian masyarakat dunia terhadap isu pangan ini, mengingat pangan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia untuk hidup. Pangan merupakan sumber energi bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, semakin meningkat pula kebutuhan akan ketersediaan pangan. Sehingga ketersediaan pangan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Apabila dalam beberapa decade terakhir ini, ketersediaan sumber energy merupakan factor yang memicu gejolak politik dunia, tidak menutup kemungkinan dalam beberapa tahun kedepan ketersediaan sumber pangan menjadi faktor baru dalam perselisihan antar bangsa.

Berbicara tentang ketersediaan pangan, akan menggiring kita pada produksi pangan terutama beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia. Kebutuhan akan beras setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 255,462 juta jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan tiap tahunnya sebesar 1,4 persen. apabila mengacu pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2014, konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 113,48 kilogram, maka kebutuhan beras di Indonesia selama setahun sebesar 28,99 juta ton.
Berdasarkan angka ramalan I BPS, Produksi padi pada tahun 2015 sebesar 75,551 juta ton atau setara dengan 43,940 juta ton beras. Produksi ini mengalami peningkatan sebesar hampir 5 juta ton jika dibandingkan dengan produksi padi gabah kering giling pada tahun 2014 yang jumlahnya sebesar 70,85 juta ton. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi beras nasional dengan program upaya khusus (upsus). Penyediaan bibit unggul, pupuk, dan sarana pertanian seperti pompa air merupakan langkah kongkrit pemerintah untuk meningkatkan produktifitas dan  mengantisipasi musim kering pada tahun 2015. Harapannya ketika musim kemarau tiba, produksi padi masih bisa dipertahankan dan mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri.
Apabila melihat dari angka ramalan tersebut, maka kebutuhan beras nasional akan tercukupi tanpa harus melakukan impor beras dari luar negeri. Namun pada kenyataannya, pada tahun 2013 pun ketika pemerintah mengklaim terjadi surplus produksi beras, terjadi impor beras oleh pihak swasta. Demikian halnya pada tahun 2015 ini, ditengah upaya pemerintah dalam hal ini kementrian pertanian berusaha meningkatkan produksi beras nasional tersebut, muncul rencana dari pemerintah untuk melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton dari Vietnam.  Rencana ini mengkonfirmasi pemberitaan dari media Vietnam, The Saigon Times, yang mengabarkan bahwa pemerintah Vietnam memenangkan kontrak untuk memasok 1 juta ton beras ke Indonesia pada bulan Oktober-Maret 2016. Pada laman itu Direktur Thinh Phat Co Ltd Lam Anh Tuan menyebutkan, beras untuk Indonesia terdiri dari 750.000 ton dengan kualitas patahan 15 persen dan 250.000 ton beras dengan patahan 5 persen atau beras premium. Pemerintah beralasan bahwa langkah impor tersebut untuk menjaga stok beras dalam negeri terutama stok beras untuk rakyat miskin (raskin). Pemerintah kuatir bahwa ramalan produksi padi oleh BPS akan meleset karena kekeringan yang mengakibatkan gagal panen. Kekeringan yang terjadi merupakan faktor alam yang tidak mampu dikontrol oleh manusia, namun hal tersebut dapat diminimalisir dengan upaya khusus dari pemerintah dalam bentuk bantuan pompa air bagi petani.
Bagaimana Angka Ramalan Produksi Padi Diperoleh?
Angka ramalan produksi padi di Indonesia merupakan hasil  kerjasama dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota di daerah. Angka ramalan tersebut dihitung berdasarkan dari produksi padi pada subround I (Januari-April) dan luas tanam pada subround selanjutnya. Untuk angka produksi diperoleh dari perkalian luas panen dan produktifitas padi. Luas panen berasal dari laporan luas panen dari Kepala Cabang Dinas (KCD), sedangkan produktifitas diperoleh dari hasil survei ubinan. Survei ubinan ini dilakukan sepanjang tahun yang terbagi dalam tiga subround. Tentu tidak dipungkiri bahwa metode tersebut masih terdapat kekurangan, terutama pada penghitungan luas  panen yang mengandalkan eye estimate (pengamatan mata). Tingkat Akurasi dari eye estimate ini berbeda2 tiap orang, sehingga akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Namun untuk saat ini, metode inilah yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang paling mendekati kenyataan di lapangan. Usaha perbaikan metode pun dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini BPS dengan melakukan survei luas panen dan luas lahan guna menghitung diskrepansi /selisih penghitungan antara eye estimate (pengakuan petani) dan hasil pengukuran lahan dengan Global Positioning System(GPS). Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mempertajam angka luas panen seperti pemanfaatan inderaja atau citra satelit, namun hal tersebut membutuhkan investasi yang besar dan pada akhirnya cost effective tetap menjadi pertimbangan. Semoga dengan perbaikan perbaikan metodologi semakin meningkatkan akurasi penghitungan produksi beras nasional sehingga angka ramalan produksi tersebut bukan hanya angka-angka di atas kertas, demikian juga bukan merupakan swasembada beras semu yang tidak ada wujud berasnya secara nyata. Namun merupakan angka yang secara akurat menggambarkan kondisi di lapangan, yang pada akhirnya akan menjadi dasar yang kuat bagi pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#138 Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas

  (Dimuat di Kolom Opini Republika, 25 November 2022) Perekonomian Indonesia mampu tumbuh mengesankan di tengah ancaman resesi global saat i...