Dimuat di harian Radar Banten, 22 Oktober 2015
Setiap tanggal 16 Oktober, 150 negara di dunia yang tergabung dalam
FAO (Food
and Agriculture Organization) selalu
memperingati sebagai hari pangan sedunia. Begitu besar perhatian masyarakat
dunia terhadap isu pangan ini, mengingat pangan merupakan kebutuhan pokok
setiap manusia untuk hidup. Pangan merupakan sumber energi bagi manusia untuk
melangsungkan kehidupannya. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, semakin
meningkat pula kebutuhan akan ketersediaan pangan. Sehingga ketersediaan pangan
ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
pangan penduduknya. Apabila dalam beberapa decade terakhir ini, ketersediaan
sumber energy merupakan factor yang memicu gejolak politik dunia, tidak menutup
kemungkinan dalam beberapa tahun kedepan ketersediaan sumber pangan menjadi faktor
baru dalam perselisihan antar bangsa.
Berbicara tentang ketersediaan pangan, akan menggiring kita pada
produksi pangan terutama beras sebagai makanan pokok penduduk Indonesia. Kebutuhan
akan beras setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia
pada tahun 2015 sebanyak 255,462 juta jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan
tiap tahunnya sebesar 1,4 persen. apabila mengacu pada hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2014, konsumsi beras per kapita per tahun
sebesar 113,48 kilogram, maka kebutuhan beras di Indonesia selama setahun
sebesar 28,99 juta ton.
Berdasarkan angka ramalan I BPS, Produksi padi pada tahun 2015
sebesar 75,551 juta ton atau setara dengan 43,940 juta ton beras. Produksi ini mengalami
peningkatan sebesar hampir 5 juta ton jika dibandingkan dengan produksi padi
gabah kering giling pada tahun 2014 yang jumlahnya sebesar 70,85 juta ton. Hal
ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi beras
nasional dengan program upaya khusus (upsus). Penyediaan bibit unggul, pupuk,
dan sarana pertanian seperti pompa air merupakan langkah kongkrit pemerintah
untuk meningkatkan produktifitas dan
mengantisipasi musim kering pada tahun 2015. Harapannya ketika musim
kemarau tiba, produksi padi masih bisa dipertahankan dan mampu mencukupi
kebutuhan beras dalam negeri.
Apabila melihat dari angka ramalan tersebut, maka kebutuhan beras
nasional akan tercukupi tanpa harus melakukan impor beras dari luar negeri.
Namun pada kenyataannya, pada tahun 2013 pun ketika pemerintah mengklaim
terjadi surplus produksi beras, terjadi impor beras oleh pihak swasta. Demikian
halnya pada tahun 2015 ini, ditengah upaya pemerintah dalam hal ini kementrian
pertanian berusaha meningkatkan produksi beras nasional tersebut, muncul
rencana dari pemerintah untuk melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton dari
Vietnam. Rencana ini mengkonfirmasi
pemberitaan dari media Vietnam, The Saigon Times, yang mengabarkan bahwa
pemerintah Vietnam memenangkan kontrak untuk memasok 1 juta ton beras ke
Indonesia pada bulan Oktober-Maret 2016. Pada laman itu Direktur Thinh Phat Co
Ltd Lam Anh Tuan menyebutkan, beras untuk Indonesia terdiri dari 750.000 ton
dengan kualitas patahan 15 persen dan 250.000 ton beras dengan patahan 5 persen
atau beras premium. Pemerintah beralasan bahwa langkah impor tersebut untuk
menjaga stok beras dalam negeri terutama stok beras untuk rakyat miskin
(raskin). Pemerintah kuatir bahwa ramalan produksi padi oleh BPS akan meleset karena
kekeringan yang mengakibatkan gagal panen. Kekeringan yang terjadi merupakan
faktor alam yang tidak mampu dikontrol oleh manusia, namun hal tersebut dapat
diminimalisir dengan upaya khusus dari pemerintah dalam bentuk bantuan pompa
air bagi petani.
Bagaimana Angka Ramalan
Produksi Padi Diperoleh?
Angka
ramalan produksi padi di Indonesia merupakan hasil kerjasama dari Badan Pusat Statistik dan
Dinas Pertanian Kabupaten/Kota di daerah. Angka ramalan tersebut dihitung
berdasarkan dari produksi padi pada subround I (Januari-April) dan luas tanam
pada subround selanjutnya. Untuk angka produksi diperoleh dari perkalian luas
panen dan produktifitas padi. Luas panen berasal dari laporan luas panen dari Kepala
Cabang Dinas (KCD), sedangkan produktifitas diperoleh dari hasil survei ubinan.
Survei ubinan ini dilakukan sepanjang tahun yang terbagi dalam tiga subround.
Tentu tidak dipungkiri bahwa metode tersebut masih terdapat kekurangan,
terutama pada penghitungan luas panen
yang mengandalkan eye estimate
(pengamatan mata). Tingkat Akurasi dari eye
estimate ini berbeda2 tiap orang, sehingga akan menghasilkan hasil yang
berbeda pula. Namun untuk saat ini, metode inilah yang bisa dimanfaatkan untuk
mendapatkan hasil yang paling mendekati kenyataan di lapangan. Usaha perbaikan
metode pun dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini BPS dengan melakukan survei
luas panen dan luas lahan guna menghitung diskrepansi
/selisih penghitungan antara eye
estimate (pengakuan petani) dan hasil pengukuran lahan dengan Global Positioning System(GPS). Banyak
hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mempertajam angka luas panen
seperti pemanfaatan inderaja atau citra satelit, namun hal tersebut membutuhkan
investasi yang besar dan pada akhirnya cost effective tetap menjadi
pertimbangan. Semoga dengan perbaikan perbaikan metodologi semakin meningkatkan
akurasi penghitungan produksi beras nasional sehingga angka ramalan produksi
tersebut bukan hanya angka-angka di atas kertas, demikian juga bukan merupakan
swasembada beras semu yang tidak ada wujud berasnya secara nyata. Namun
merupakan angka yang secara akurat menggambarkan kondisi di lapangan, yang pada
akhirnya akan menjadi dasar yang kuat bagi pengambilan keputusan dan
perencanaan pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar